Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah Yang Maha Indah yang ke-indahannya tak pernah menyusut walau dibagi kepada seluruh warga jagad raya. Keindahan inilah yang membuat manusia betah berada di dunia dan enggan meninggalkannya. Semoga kita semua senantiasa diberi kesadaran bahwa keindahan di dunia ini hanyalah sementara. Dan tidak menjadikanya sebagai orientasi dan tujuan dalam hidup ini
اللهم لا تجعل الدنيا أكبر همي ولا مبلغ علمي
Do’a pengharapan kepada-Nya agar senantiasa memberikan petunjuk kepada kita, supaya tidak menjadikan dunia se-isinya sebagai cita-cita dalam kehidupan dan orientasi dalam ilmu pengetahuan. Karena cita-cita dan ilmu pengetahuan hendaknya digunakan untuk meniti jalan menuju kepada-Nya, bukan mengabdi kepada dunia.
Namun, realita sungguh berbeda. Kehidupan di sekitar kita akhir-akhir ini menunjukkan arah yang berlawanan. Lihatlah telah muncul istilah Orang Kaya Baru di sekitar kita. Manusia-manusia luar biasa yang dengan bersusah payah dan penuh perjuangan, sampai pada taraf hidup yang menakjubkan. Mereka telah meninggalkan garis kemiskinan untuk beranjak pada tingkat kehidupan dengan penuh kemewahan.
Di suatu waktu Rasulullah ﷺ berbincang dengan hangat bersama Abu Dzar al-Ghifari. Hingga pada suatu saat, al-Ghifari berkata kepada Nabi ﷺ, "Ya Rasulullah, berwasiatlah kepadaku." Beliaupun bersabda, "Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, karena ia adalah pokok segala urusan."
Memang benar taqwa adalah pangkal segalanya.
Namun taqwa itu bagaikan konsep teoritis yang harus diterjemahkan biar mudah untuk diraih. Bagi kaum awam, taqwa itu cukup sulit untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Bagaimanakah caranya mengikat hati dalam ketaqwaan kepada Allah SWT? Sedangkan hati kita sering tersangkut dalam kepentingan-kepentingan duniawi? Bagaimanakah caranya? Rasulullah tidak menerangkan tentang hal ini, dan Abu Dzarpun tidak menanyakannya. Mungkin bagi dia taqwa adalah perkara yang jelas.
Namun marilah kita ikuti percakapan beliau selanjutnya.
Lalu Abu Dzar pun kembali bertanya kepada Rasulullah "Ya Rasulallah, tambahkanlah wasiat apalagi yang penting setelah taqwa.".
Rasulullah ﷺ menjawab "Hendaklah engkau senantiasa membaca Al Qur`an dan berdzikir kepada Allah azza wa jalla, karena hal itu merupakan cahaya bagimu di bumi dan simpananmu di langit."
Ingatlah kita pada do’a khatmil Qur’an yang sangat masyhur
Keduanya bagaikan deposito bagi diri kita, bunganya dapat dipergunakan untuk menerangi perjalanan kita di dunia, sedangkan tabungannya adalah kekayaan yang dapat mengamankan kehidupan di akhirat nanti.
Abu Dzar merasa masih ada hal lain yang hendak disampaikan Nabi Muhammad ﷺ. Iapun berkata meminta "Ya Rasulullah, tambahkanlah wasiatmu.".
Rasulullah menjawab "Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah."
Tertawa adalah hal yang sangat sepele, tetapi Rasulullah ﷺ melihat itu sebagai sesuatu yang memiliki dampak psikologis dalam jiwa manusia. Karena kebanyakan manusia ketika tertawa akan melupakan segala kewajibannya sebagai seorang hamba.
Hal ini berbeda dengan model tertawa Rasulullah saw seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits Abdullah bin al Harits yang mengatakan, ”Tertawanya Rasulullah ﷺ hanya sekedar senyum." (HR. Tirmidzi)
Dan sabda Rasulullah ﷺ, "Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah.” (HR. Tirmidzi)
Jika demikian, apa maksud stasiun televise ramai menghadirkan acara humor, lawak ataupun dagelan? Bukankah itu sama artinya sebuah usaha pembodohan? Ataukah hanya sekedar relaksasi dari kejenuhan hidup ini? Jelas Rasulullah telah berwasiat demikian. Kepercayaan kita kepada Nabi Muhammad ﷺ, harusnya jauh melebihi dari pada berbagai acara di televise yang merupakan pesanan produser .
Sebagai muslim yang penuh kehati-hatian dan ingin tahu Abu Dzar pun melanjutkan pertanyaanya kembali "lalu apa lagi ya Rasulullah?"
Rasulullah ﷺ pun menjawab, "Hendaklah engkau pergi berjihad karena jihad adalah kependetaan ummatku."
Bagaimanakah maksud jihad sebagai kependetaan? Bukankah jihad itu kepahlawanan? Inilah yang perlu pemahaman mendalam. Kalimat ini sangat padu dengan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah ﷺ bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu " Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar. Para sahabat bertanya, "Apa jihad besar itu?, Nabi SAW menjawab, "Jihaad al-qalbi (jihad hati).' Di dalam riwayat lain disebutkan jihaad al-nafs". (lihat Kanz al-'Ummaal, juz 4/616; Hasyiyyah al-Baajuriy, juz 2/265).
Masih ada lagi selain itu, karena Abu Dzar kembali meminta "Lagi ya Rasulullah?"
rasulpun menjawab "Cintailah orang-orang miskin dan bergaullah dengan mereka."
Jikalau keempat hal itu seolah sangat bersifat pribadi, maka kali ini mencintai dan menggauli orang miskin membuktikan adanya unsur sosialis yang tinggi dalam ajaran Rasulullah ﷺ. Mencintai dan bergaul dengan orang miskin merupakan manifestasi dari kemanusiaan seorang manusia. Dari berbagai ayat dalam al-Qur’an, kesemuanya menunjukkan bahwa hubungan itu selalu dihiasi dengan pemberian dan pembagian. Sebagaimana dalam surat An-Nisa’ 36.
“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh {294}, dan teman sejawat, ibnu sabil {295} dan hamba sahayamu.”
Lalu Abu Dzar meminta lagi kepada Rasulullah saw dengan berkata "Tambahilah lagi."
Rasulullah ﷺ menjawab, "Katakanlah yang benar walaupun pahit akibatnya."
Qulil haqqa walau kaana murran, karena memang kebenaran bagi sebagian keadaan adalah kepahitan itu sendiri. Inilah yang sedang terjadi di sekitar kita kali ini. Ketika kebohongan sudah mengurat-nadi, seolah kebenaran enggan menunjukkan diri. Bukan karena malu atau terdesak dengan kebohogan, namun karena keduanya tak mungkin ada berdampingan dengan bersamaan.
Abu Dzar masih saja bertanya dan meminta, “tambahlah lagi untukku!."
Rasulullah ﷺ pun menjawab "Hendaklah engkau sampaikan kepada manusia apa yang telah engkau ketahui dan mereka belum mendapatkan apa yang engkau sampaikan. Cukup sebagai kekurangan bagimu jika engkau tidak mengetahui apa yang telah diketahui manusia dan engkau membawa sesuatu yang telah mereka dapati (ketahui)."
Kemudian beliau memukulkan tangannya kedadaku seraya bersabda,"Wahai Abu Dzar, Tidaklah ada orang yang berakal sebagaimana orang yang mau bertadabbur (berfikir), tidak ada wara` sebagaimana orang yang menahan diri (dari meminta), tidaklah disebut menghitung diri sebagaimana orang yang baik akhlaqnya."
Itulah beberapa wasiat emas yang disampaikan Rasulullah ﷺ kepada salah seorang sahabat terdekatnya. Semoga kita dapat meresapi dan mengamalkan wasiat beliau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar