Latest News

Minggu, 05 Juni 2016

Betapa Kita Mendambakan Sosok Pemimpin Adil Seperti Umar.


Khalifah Umar bin Khathab gelisah. Hampir satu pekan terakhir ini ia sering ke perbatasan
Madinah. Sepanjang hari ia berdiri sambil sesekali mendesah panjang. Nampak dari kecemasannya ia tengah menunggu sesuatu.

Khalifah kedua pengganti Rasulullah ini memang sedang menanti berita keadaan kaum
muslimin di medan laga Qadisiyah. Jika hari menjelang sore, dan yang ditunggu pun tak
kunjung datang, Khalifah Umar kembali ke rumahnya dengan hati cemas. Malamnya pun ia nyaris tak bisa memejamkan mata. Benaknya terus berpikir tentang keadaan
pasukan kaum muslimin. la khawatir kekalahan akan menimpa mereka.

Suatu hari, kala sang Khalifah tengah menunggu di perbatasan Madinah, dari kejauhan nampak seorang penunggang kuda menuju ke arahnya. Dengan hati cemas diselimuti berbagai pertanyaan, khalifah berjuluk al-Faruq itu menghampiri si penunggang kuda.

"Anda dari mana?" tanya Umar.

"Dari Qadisiyah," jawab si penunggang kuda.

"Apakah Anda salah seorang pasukan kaum muslimin?"
"Benar. Saya diutus oleh Panglima Besar Sa'ad bin Abi Waqqash untuk menyampaikan berita tentang keadaan kaum muslimin."

"Bagaimana keadaan mereka?"

"Alhamdulillah. Berkat kebesaran Allah, kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran."

Khalifah Umar menarik nafas lega. Kekhawatirannya selama ini telah berubah menjadi gembira sambil mengucapkan takbir, memuji kebesaran Allah.

Ya, sejarah selalu memberikan pelajaran berharga. Selain ketawadhuan Khalifah Umar bin
Khathab, banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran dari peristiwa di atas. Antara lain:

Pertama, kita kembali terpukau pada pemimpin seperti Umar yang benar-benar bertanggung jawab teitiadap rakyatnya. Kendati berada jauh dari medan perang, Khalifah Umar tidak bisa tenang sebelum mengetahui keadaan pasukannya. Wujud tanggung jawab ini tidak hanya kita dapatkan dalam kisah di atas. Dalam berbagai kesempatan, beliau selalu memikirkan rakyatnya.

Tak asing lagi dalam ingatan kita tentang Umar yang dalam gulitanya malam, di tengah nyenyaknya orang-orang tidur, justru keluar dari rumah, berkeliling di antara rumah-rumah penduduk, sendirian mengawasi rakyatnya, la tidak bisa tidur nyenyak kalau ada di antara rakyatnya diancam ketidaktenangan.

Apakah ada di antara para pemimpin kita yang bersikap seperti Umar? Saat ini, rakyat makin
menderita akibat naiknya harga kebutuhan pokok, meningkatnya jumlah anak-anak terlantar yang tidur di bawah jembatan atau beratapkan langit, dan bertambahnya pengangguran. Adakah semua itu membuat mereka merenung? Sungguh ironis jika hal itu malah menambah nyenyak tidur mereka.  Artinya, sense of crisis mereka sudah tak berfungsi, bahkan mati rasa!

Kedua, kemenangan yang disampaikan Basyir al-Badawi tak luput dari kejelian Umar dalam
bertindak. Jatuhnya pilihan pada Sa'd bin Abi Waqqash tidak didasari atas kedekatan hubungan keluarga atau kekerabatan. Sebelum angkatan perang yang besar itu berangkat, Khalifah Umar berpidato memberikan amanat, "Wahai Sa'ad, janganlah terpesona walaupun engkau paman Rasulullah dan sahabat beliau. Sesungguhnya Allah tidak menghapus suatu kejahatan dengan kejahatan. Tetapi Allah menghapus kejahatan dengan kebaikan.

Wahai Sa'ad, tidak ada hubungan kekeluargaan antara Allah dengan seseorang melainkan dengan menaati-Nya. Setiap manusia sama di sisi Allah, baik bangsawan maupun rakyat jelata. Allah adalah Tuhan mereka dan mereka adalah hamba-hambaNya. Mereka memiliki keutamaan atau tidak tergantung takwanya, dan memperoleh karunia Allah karena taat. Perhatikanlah cara Rasulullah yang engkau ketahui, dan tetaplah ikuti cara beliau,"
(Shuwar Min Hayatish Shahabah, Abdurahman Ra'lat Basya)

Teladan ini diwarisi Umar dari Rasulullah saw.
Mungkin ada pertanyaan yang masih tersisa dalam benak kita. Mengapa dalam berbagai pertempuran, Rasulullah saw hampir tak pernah menjadikan Umar sebagai panglima perang? Padahal, semua orang tahu "kedigdayaan" Umar. Jawabannya, karena Rasulullah saw mampu memposisikan sahabatnya. Umar tak sekadar pantas menjadi panglima perang, tapi lebih dari itu.

Begitulah. Penunjukan Sa'ad sebagai panglima perang Qadisiyah sungguh tepat. Untuk menaklukkan kekuatan lawan, tak hanya dibutuhkan searang panglima yang gagah secara fisik, tapi Juga berwibawa dan memiliki suara yang mampu menggetarkan Jiwa-jiwa prajurit untuk mengalahkan musuh. Dan itu dimiliki oleh Sa'ad bin Abi Waqqash.

Karenanya, meski dalam keadaan sakit parah sehingga untuk bergerak saja susah, Sa'ad bin Abi Waqqash mampu mengendalikan pasukannya.  Dari atas rumah peristirahatannya, ia memberikan komando kepada pasukannya sampai akhirnya mereka menang. Tak hanya itu, dengan kemauan dan semangat membaja, Sa'ad bin Abi Waqqash mampu menanamkan keyakinan kepada para prajuritnya, sehingga lahiriah sebuah kekuatan luar biasa: mereka berhasil menyeberangi sungai Tigris bagaikan berjalan di atas air. Dan, kota Madain di seberang sana berhasil mereka sinari dengan cahaya Islam.

Kalau saja kemampuan dan kemauan membagi tugas ini dimiliki kaum muslimin saat ini, tentu
kita tidak akan terus menerus terjerumus dalam keterpurukan. Keberhasilan seorang pemimpin tak hanya ditentukan oleh kualitas dirinya secara pribadi, tapi juga kesanggupannya dalam mengatur anak buah. Dan, inilah yang dicontohkan Rasulullah saw dan para sahabat.

Wallahu a'lam bishowab.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog