Muslimah
Syariat
Sekitar Kita
Tafakur
Info
Joke
Recent Posts
Selasa, 21 Juni 2016
Mengapa Nabi Muhammad ﷺ Diturunkan Di Jazirah Arab.
Usia bumi telah tua. Lebih tua dari masa pertama saat Adam dan istrinya, Hawa, menginjakkan kaki di permukaannya. Silih berganti zaman dan keadaan. Manusia yang hidup di atasnya pun bergiliran. Allah utus rasul-rasul untuk mereka. Menyempurnakan fitrah yang telah dibawa. Hingga akhirnya diutus Muhammad bin Abdullah ﷺ di Jazirah Arab.
Lalu timbul pertanyaan, “Mengapa Arab?” “Mengapa tanah gersang dengan orang-orang nomad di sana dipilih menjadi tempat diutusnya Rasul terakhir ini?” Tidak sedikit umat Islam yang bertanya-tanya penasaran tentang hal ini. Mereka berusaha mencari hikmahnya. Ada yang bertemu. Ada pula yang meraba tak tentu arah.
Para ulama mencoba menyebutkan hikmah tersebut. Dan dengan kerendahan hati, mereka tetap mengakui hakikat sejati hanya Allah-lah yang mengetahui. Para ulama adalah orang yang berhati-hati. Jauh lebih hati-hati dari seorang peneliti. Mereka jauh dari mengedepankan egoisme suku dan ras. Mereka memiliki niat, yang insya Allah, tulus untuk hikmah dan ilmu.
Zaid bin Abdul Karim az-Zaid dalam Fiqh as-Sirah menyebutkan di antara latar belakang diutusnya para rasul, khusunya rasul terakhir, Muhammad ﷺ, di Jazirah Arab adalah:
Pertama: Jazirah Arab adalah tanah merdeka.
Jazirah Arab adalah tanah merdeka yang tidak memiliki penguasa. Tidak ada penguasa yang memiliki kekuasaan politik dan agama secara absolut di daerah tersebut. Berbeda halnya dengan wilayah-wilayah lain. Ada yang dikuasai Persia, Romawi, dan kerajaan lainnya.
Kedua: Memiliki agama dan kepercayaan yang beragam.
Mereka memang orang-orang pagan penyembah berhala. Namun berhala mereka berbeda-beda. Ada yang menyembah malaikat. Ada yang menyembah bintang-bintang. Dan ada pula yang menyembah patung –ini yang dominan.
Patung yang mereka sembah pun bermacam ragam. Setiap daerah memiliki patung jenis tertentu. Keyakinan mereka beragam. Ada yang menolak, ada pula yang menerima.
Di antara mereka juga terdapat orang-orang Yahudi dan Nasrani. Dan sedikit yang masih berpegang kepada ajaran Nabi Ibrahim yang murni.
Ketiga: Kondisi sosial yang unik mungkin bisa dikatakan istimewa tatkala itu. Mereka memiliki jiwa fanatik kesukuan (ashabiyah).
Orang Arab hidup dalam tribalisme, kesukuan. Pemimpin masyarakat adalah kepala kabilah. Mereka menjadikan keluarga sendiri yang memimpin suatu koloni atau kabilah tertentu. Dampak positifnya kentara saat Nabi ﷺ memulai dakwahnya. Kekuatan bani Hasyim menjaga dan melindungi beliau dalam berdakwah.
Apabila orang-orang Quraisy menganggu pribadi beliau, maka paman beliau, Abu Thalib, datang membela. Hal ini juga dirasakan oleh sebagian orang yang memeluk Islam. Keluarga mereka tetap membela mereka.
Keempat: Jauh dari peradaban besar.
Mengapa jauh dari peradaban besar merupakan nilai positif? Karena benak mereka belum tercampuri oleh pemikiran-pemikiran lain. Orang-orang Arab yang tinggal di Jazirah Arab atau terlebih khusus tinggal di Mekah, tidak terpengaruh pemikiran luar. Jauh dari ideologi dan peradaban majusi Persia dan Nasrani Romawi. Bahkan keyakinan paganis juga jauh dari mereka. Sampai akhirnya Amr bin Luhai al-Khuza’I kagum dengan ibadah penduduk Syam. Lalu ia membawa berhala penduduk Syam ke Jazirah Arab.
Jauhnya pengaruh luar ini, membuat jiwa mereka masih polos, jujur, dan lebih adil menilai kebenaran wahyu.
Kelima: Secara geografi, Jazirah Arab terletak di tengah dunia.
Memang pandangan ini terkesan subjektif. Tapi realitanya, Barat menyebut mereka dengan Timur Tengah. Geografi dunia Arab bisa berhubungan dengan belahan dunia lainnya. Sehingga memudahkan dalam penyampaian dakwah Islam ke berbagai penjuru dunia. Terbukti, dalam waktu yang singkat, Islam sudah menyebar ke berbagai penjuru dunia. Ke Eropa dan Amerika.
Keenam: Mereka berkomunikasi dengan satu Bahasa yaitu bahasa Arab.
Jazirah Arab yang luas itu hanya memiliki satu bahasa untuk komunikasi di antara mereka, yaitu Bahasa Arab. Adapun wilayah-wilayah lainnya memiliki banyak bahasa. Saat itu, di India saja sudah memiliki 15 bahasa resmi (as-Sirah an-Nabawiyah oleh Abu al-Hasan an-Nadawi, Cet. Jeddah: Dar asy-Syuruq. Hal: 22).
Bayangkan seandainya di Indonesia, masing-masing daerah berbeda bahasa, bahkan sampai ratusan bahasa. Komunikasi akan terhambat dan dakwah sanag lambat tersebar karena kendala bahasa saja. Dalam waktu yang lama, dakwah Islam mungkin belum terdengar ke belahan dunia lainnya karena disibukkan dengan kendala ini.
Ketujuh: Banyaknya orang-orang yang datang ke Mekah.
Mekah telah menjadi tempat istimewa sejak masa Nabi Ibrahim dan Ismail ‘alaihimassalam. Oleh karena itu, banyak utusan dari wilayah Arab lainnya datang ke sana. Demikian juga jamaah haji. Pedagang. Para ahli syair dan sastrawan. Keadaan ini mempermudah untuk menyebarkan risalah kenabian. Mereka datang ke Mekah, lalu kembali ke kampung mereka masing-masing dengan membawa berita risalah kerasulan.
Kedelapan: Faktor penduduknya.
Ibnu Khladun membagi bumi ini menjadi tujuh bagian. Bagian terjauh adalah kutub utara dan selatan. Inilah bagian yang ia sebut dengan bagian satu dan tujuh. Kemudian ia menyebutkan bagian dua dan enam. Kemudian bagian tiga dan lima. Kemudian menunjuk bagian keempat sebagai pusatnya. Ia tunjuk bagian tersebut dengan mengatakan, “wa sakanaha (Arab: وسكانها).
Penduduk Arab adalah orang-orang yang secara fisik proporsional; tidak terlalu tinggi dan tidak pendek. Tidak terlalu besar dan tidak kecil. Demikian juga warna kulitnya. Serta akhlak dan agamanya. Sehingga kebanyakan para nabi diutus di wilayah ini. Tidak ada nabi dan rasul yang diutus di wilayah kutub utara atau selatan. Para nabi dan rasul secara khusus diutus kepada orang-orang yang sempurna secara jenis (tampilan fisik) dan akhlak. Kemudian Ibnu Khaldun berdalil dengan sebuah ayat:
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia…” (QS. Ali Imran: 110). (Muqaddimah Ibnu Khaldun, Cet. Bairut: Dar al-Kitab al-Albani. Hal: 141-142).
Karena pembicaraan pertama dalam ayat tersebut ditujukan kepada orang Arab, yakni para sahabat. Kemudian barulah umat Islam secara umum.
Secara realita, kita juga meyakini, memang ada bangsa yang unggul secara fisik. Contohnya ras Mongoloid. Sebuah istilah yang pernah digunakan untuk menunjuk karakter umum dari sebagian besar penghuni Asia Utara, Asia Timur, Asia Tenggara, Madagaskar di lepas pantai timur Afrika, beberapa bagian India Timur Laut, Eropa Utara, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Oseania. Memiliki ciri mata sipit, lebih kecil, dan lebih pendek dari ras Kaukasoid.
Ras Kaukasoid adalah karakter umum dari sebagian besar penghuni Eropa, Afrika Utara, Timur Tengah, Pakistan dan India Utara. Walaupun penelitian sekarang telah merubah steorotip ini. Namun hal ini bisa kita jadikan pendekatan pemahaman, mengapa Ibnu Khladun menyebut Timur Tengah sebagai “sakanaha”.
Artinya ada fisik yang lebih unggul. Mereka yang sipit ingin mengubah kelopak mata menjadi lebih lebar. Mereka yang pendek ingin lebih tinggi. Naluri manusia menyetujui bahwa Kaukasia lebih menarik. Atau dalam bahasa lain lebih unggul secara fisik.
Namun Allah Ta’ala lebih hikmah dan lebih jauh kebijaksanaannya dari hanya sekadar memandang fisik. Dia lengkapi orang-orang Kaukasia yang ada di Timur Tengah dengan perangai yang istimewa. Hal ini bisa kita jumpai di buku-buku sirah tentang karakter bangsa Arab pra-Islam. Mereka jujur, polos, berkeinginan kuat, dermawan, dll. Kemudian Dia utus Nabi-Nya, Muhammad ﷺ di sana.
Mudah-mudahan bermanfaat…
Rabu, 15 Juni 2016
Ingatlah !! Durhaka Kepada Orang Tua Adalah Dosa Besar
Setelah kita mengetahui dalil-dalil yang memerintahkan kita untuk birrul walidain (berbakti kepada orang tua), sekarang kita membahas kebalikannya yaitu durhaka kepada orang tua. Sebagaimana tingginya keutamaan dan urgensi birrul walidain, maka konsekuensinya betapa besar dan bahayanya hal yang menjadi kebalikannya yaitu durhaka kepada orang tua.
Bahkan durhaka kepada orang tua adalah dosa besar. Ini secara tegas dinyatakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
أكبرُ الكبائرِ : الإشراكُ بالله ، وقتلُ النفسِ ، وعقوقُ الوالدَيْنِ ، وقولُ الزورِ . أو قال : وشهادةُ الزورِ
“Dosa-dosa besar yang paling besar adalah: syirik kepada Allah, membunuh, durhaka kepada orang tua, dan perkataan dusta atau sumpah palsu” (HR. Bukhari-Muslim dari sahabat Anas bin Malik).
Dalam hadits Nafi’ bin Al Harits Ats Tsaqafi, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
ألا أنبِّئُكم بأكبرِ الكبائرِ . ثلاثًا ، قالوا : بلَى يا رسولَ اللهِ ، قال : الإشراكُ باللهِ ، وعقوقُ الوالدينِTernyata Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkali-kali memperingatkan para sahabat mengenai besarnya dosa durhaka kepada orang tua. Subhaanallah!.
“maukah aku kabarkan kepada kalian mengenai dosa-dosa besar yang paling besar? Beliau bertanya ini 3x. Para sahabat mengatakan: tentu wahai Rasulullah. Nabi bersabda: syirik kepada Allah dan durhaka kepada orang tua” (HR. Bukhari – Muslim).
Dan perhatikan, sebagaimana perintah untuk birrul walidain disebutkan setelah perintah untuk bertauhid, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya) : “Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang tua” (QS. An Nisa: 36).
Maka di hadits ini dosa durhaka kepada orang tua juga disebutkan setelah dosa syirik. Ini menunjukkan betapa besar dan fatalnya dosa durhaka kepada orang tua. Namun perlu di ketahui, sebagaimana dosa syirik itu bertingkat-tingkat, dosa maksiat juga bertingkat-tingkat, maka dosa durhaka kepada orang tua juga bertingkat-tingkat.
Durhaka kepada ibu, lebih besar lagi dosanya
Sebagaimana kita ketahui dari dalil-dalil bahwa berbuat baik kepada ibu lebih diutamakan daripada kepada ayah, maka demikian juga durhaka kepada ibu lebih besar dosanya. Selain itu, ibu adalah seorang wanita, yang ia secara tabi’at adalah manusia yang lemah. Sedangkan memberikan gangguan kepada orang yang lemah itu hukuman dan dosanya lebih besar dari orang biasa atau orang yang kuat.
Oleh karena itu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:Wallahu ‘alam bis shawab.
إنَّ اللَّهَ حرَّمَ عليكم عقوقَ الأمَّهاتِ ، ومنعًا وَهاتِ ، ووأدَ البناتِ وَكرِه لَكم : قيلَ وقالَ ، وَكثرةَ السُّؤالِ ، وإضاعةَ المالِ
“sesungguhnya Allah mengharamkan sikap durhaka kepada para ibu, pelit dan tamak, mengubur anak perempuan hidup-hidup. Dan Allah juga tidak menyukai qiila wa qaala, banyak bertanya dan membuang-membuang harta” (HR. Bukhari – Muslim).
Senin, 13 Juni 2016
Inilah Wasiat Rasulullah Kepada Abu Dzar Yang Bisa Membuat Kita Terperangah
Al-Hamdulillah, segala puji bagi Allah Yang Maha Indah yang ke-indahannya tak pernah menyusut walau dibagi kepada seluruh warga jagad raya. Keindahan inilah yang membuat manusia betah berada di dunia dan enggan meninggalkannya. Semoga kita semua senantiasa diberi kesadaran bahwa keindahan di dunia ini hanyalah sementara. Dan tidak menjadikanya sebagai orientasi dan tujuan dalam hidup ini
اللهم لا تجعل الدنيا أكبر همي ولا مبلغ علمي
Do’a pengharapan kepada-Nya agar senantiasa memberikan petunjuk kepada kita, supaya tidak menjadikan dunia se-isinya sebagai cita-cita dalam kehidupan dan orientasi dalam ilmu pengetahuan. Karena cita-cita dan ilmu pengetahuan hendaknya digunakan untuk meniti jalan menuju kepada-Nya, bukan mengabdi kepada dunia.
Namun, realita sungguh berbeda. Kehidupan di sekitar kita akhir-akhir ini menunjukkan arah yang berlawanan. Lihatlah telah muncul istilah Orang Kaya Baru di sekitar kita. Manusia-manusia luar biasa yang dengan bersusah payah dan penuh perjuangan, sampai pada taraf hidup yang menakjubkan. Mereka telah meninggalkan garis kemiskinan untuk beranjak pada tingkat kehidupan dengan penuh kemewahan.
Di suatu waktu Rasulullah ﷺ berbincang dengan hangat bersama Abu Dzar al-Ghifari. Hingga pada suatu saat, al-Ghifari berkata kepada Nabi ﷺ, "Ya Rasulullah, berwasiatlah kepadaku." Beliaupun bersabda, "Aku wasiatkan kepadamu untuk bertaqwa kepada Allah, karena ia adalah pokok segala urusan."
Memang benar taqwa adalah pangkal segalanya.
Namun taqwa itu bagaikan konsep teoritis yang harus diterjemahkan biar mudah untuk diraih. Bagi kaum awam, taqwa itu cukup sulit untuk diaplikasikan dalam kehidupan. Bagaimanakah caranya mengikat hati dalam ketaqwaan kepada Allah SWT? Sedangkan hati kita sering tersangkut dalam kepentingan-kepentingan duniawi? Bagaimanakah caranya? Rasulullah tidak menerangkan tentang hal ini, dan Abu Dzarpun tidak menanyakannya. Mungkin bagi dia taqwa adalah perkara yang jelas.
Namun marilah kita ikuti percakapan beliau selanjutnya.
Lalu Abu Dzar pun kembali bertanya kepada Rasulullah "Ya Rasulallah, tambahkanlah wasiat apalagi yang penting setelah taqwa.".
Rasulullah ﷺ menjawab "Hendaklah engkau senantiasa membaca Al Qur`an dan berdzikir kepada Allah azza wa jalla, karena hal itu merupakan cahaya bagimu di bumi dan simpananmu di langit."
Ingatlah kita pada do’a khatmil Qur’an yang sangat masyhur
Keduanya bagaikan deposito bagi diri kita, bunganya dapat dipergunakan untuk menerangi perjalanan kita di dunia, sedangkan tabungannya adalah kekayaan yang dapat mengamankan kehidupan di akhirat nanti.
Abu Dzar merasa masih ada hal lain yang hendak disampaikan Nabi Muhammad ﷺ. Iapun berkata meminta "Ya Rasulullah, tambahkanlah wasiatmu.".
Rasulullah menjawab "Janganlah engkau banyak tertawa, karena banyak tawa itu akan mematikan hati dan menghilangkan cahaya wajah."
Tertawa adalah hal yang sangat sepele, tetapi Rasulullah ﷺ melihat itu sebagai sesuatu yang memiliki dampak psikologis dalam jiwa manusia. Karena kebanyakan manusia ketika tertawa akan melupakan segala kewajibannya sebagai seorang hamba.
Hal ini berbeda dengan model tertawa Rasulullah saw seperti yang diterangkan dalam sebuah hadits Abdullah bin al Harits yang mengatakan, ”Tertawanya Rasulullah ﷺ hanya sekedar senyum." (HR. Tirmidzi)
Dan sabda Rasulullah ﷺ, "Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah.” (HR. Tirmidzi)
Jika demikian, apa maksud stasiun televise ramai menghadirkan acara humor, lawak ataupun dagelan? Bukankah itu sama artinya sebuah usaha pembodohan? Ataukah hanya sekedar relaksasi dari kejenuhan hidup ini? Jelas Rasulullah telah berwasiat demikian. Kepercayaan kita kepada Nabi Muhammad ﷺ, harusnya jauh melebihi dari pada berbagai acara di televise yang merupakan pesanan produser .
Sebagai muslim yang penuh kehati-hatian dan ingin tahu Abu Dzar pun melanjutkan pertanyaanya kembali "lalu apa lagi ya Rasulullah?"
Rasulullah ﷺ pun menjawab, "Hendaklah engkau pergi berjihad karena jihad adalah kependetaan ummatku."
Bagaimanakah maksud jihad sebagai kependetaan? Bukankah jihad itu kepahlawanan? Inilah yang perlu pemahaman mendalam. Kalimat ini sangat padu dengan apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah ﷺ bahwa jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu " Kita baru saja kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar. Para sahabat bertanya, "Apa jihad besar itu?, Nabi SAW menjawab, "Jihaad al-qalbi (jihad hati).' Di dalam riwayat lain disebutkan jihaad al-nafs". (lihat Kanz al-'Ummaal, juz 4/616; Hasyiyyah al-Baajuriy, juz 2/265).
Masih ada lagi selain itu, karena Abu Dzar kembali meminta "Lagi ya Rasulullah?"
rasulpun menjawab "Cintailah orang-orang miskin dan bergaullah dengan mereka."
Jikalau keempat hal itu seolah sangat bersifat pribadi, maka kali ini mencintai dan menggauli orang miskin membuktikan adanya unsur sosialis yang tinggi dalam ajaran Rasulullah ﷺ. Mencintai dan bergaul dengan orang miskin merupakan manifestasi dari kemanusiaan seorang manusia. Dari berbagai ayat dalam al-Qur’an, kesemuanya menunjukkan bahwa hubungan itu selalu dihiasi dengan pemberian dan pembagian. Sebagaimana dalam surat An-Nisa’ 36.
“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh {294}, dan teman sejawat, ibnu sabil {295} dan hamba sahayamu.”
Lalu Abu Dzar meminta lagi kepada Rasulullah saw dengan berkata "Tambahilah lagi."
Rasulullah ﷺ menjawab, "Katakanlah yang benar walaupun pahit akibatnya."
Qulil haqqa walau kaana murran, karena memang kebenaran bagi sebagian keadaan adalah kepahitan itu sendiri. Inilah yang sedang terjadi di sekitar kita kali ini. Ketika kebohongan sudah mengurat-nadi, seolah kebenaran enggan menunjukkan diri. Bukan karena malu atau terdesak dengan kebohogan, namun karena keduanya tak mungkin ada berdampingan dengan bersamaan.
Abu Dzar masih saja bertanya dan meminta, “tambahlah lagi untukku!."
Rasulullah ﷺ pun menjawab "Hendaklah engkau sampaikan kepada manusia apa yang telah engkau ketahui dan mereka belum mendapatkan apa yang engkau sampaikan. Cukup sebagai kekurangan bagimu jika engkau tidak mengetahui apa yang telah diketahui manusia dan engkau membawa sesuatu yang telah mereka dapati (ketahui)."
Kemudian beliau memukulkan tangannya kedadaku seraya bersabda,"Wahai Abu Dzar, Tidaklah ada orang yang berakal sebagaimana orang yang mau bertadabbur (berfikir), tidak ada wara` sebagaimana orang yang menahan diri (dari meminta), tidaklah disebut menghitung diri sebagaimana orang yang baik akhlaqnya."
Itulah beberapa wasiat emas yang disampaikan Rasulullah ﷺ kepada salah seorang sahabat terdekatnya. Semoga kita dapat meresapi dan mengamalkan wasiat beliau.
Bersungguh-Sungguhlah Dalam Ramadhan Ini !! Kuatkan Hati Kita Untuk Menggapai Tujuan Utama Puasa Ramadhan.
Al-Hafidz Ibnu Jauzi rahimahullah berkata:
“Barangsiapa memperbaiki pikirannya, ia akan tersebarlah kebajikan banyak dan akan terus menyebar hati yang baik nya.
Jadi hati-hati, menjaga pikiran Anda, karena jika otak telah rusak maka tidak akan bermanfaat lagi amaliah kebaikan tampaknya. “ (Shaidul Khathir I / 206).
Berbicara tentang keseriusan, kita harus mulai dari hati.
Hai orang-orang yang beriman! Puasa diwajibkan atas kamu sebagaimana diwajibkan bagi orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (Qs. Al Baqarah ayat 183)
Setiap Ramadhan datang setiap ibadah berbanyak kita mencari Tuhan dan puncak ridlo berharap untuk mendapatkan pengabdian, sebagai tujuan puasa kita.
Mari kita sejenak untuk membandingkan hitungan cepat kami. Tentang seberapa serius kita mendapatkan pengalaman puncak (peak experience) spiritual, yaitu taqwa.
Jadi dalam masalah ini, itu adalah perasaan yang amat malu saat puasa sehingga kami disandingkan dengan makhluk Allah yang disebut binatang. Kami sudah 40 tahun (muda ups.ada yah). Kemudian periode berkurang dari hukum usia 15 tahun, kami sudah bertemu dengan puasa Ramadhan 25 kali. Atau 25 x 30 hari = 750 hari.
Jika kuantitas yang diukur kita kehilangan karena hewan.
Ayam hanya dengan 21 hari telah mencapai puncaknya menetaskan telur mereka. dan selama seluruh potensi puasa bahkan tidak pergi ke mana pun, dikerahkan semata-mata menetas.
Ular hanya perlu 21-40 hari untuk tiba di titik pembaharuan ke awal kehidupan.
Ulat cukup 14-16 hari puasa melakukan metamorfosis menjadi kupu-kupu pria dikagumi indah.
Saya berharap kami telah berpuasa Ramadan berapa kali?
Apa yang telah kita buat puasa?
Sudahkah kita mencapai pengalaman spiritual puncak beberapa bentuk kesalehan?
Jadi untuk mengatakan apa yang kita semua di hadapan Allah kelak ????
Jadi apakah puasa selama bulan Ramadhan kita harus benar-benar, karena (perintah) Allah, atau hanya karena sudah menjadi tradisi (yang begitu kuat diinternalisasi sejak kecil kami) ???
Seperti anak-anak sekolah tidak mau ketinggalan sekolah, karena sejak anak usia dini kita diajarkan untuk selalu pergi ke sekolah? Atau bahkan sebagai kehidupan terjaga berirama otomatis mengambil mandi, karena sejak TK diajarkan lagu Aku terus bangun mandi? Saya tidak punya ide..
Nah inilah ketika semua benar-benar terjadi. Ada itu salah kita melihat beberapa Muslim yang tampak cepat tetapi tidak lebih dari sekedar kebiasaan. Lalu ada seseorang yang masih berpuasa ketika ia asyik gosip atau bergosip tentang orang, teman, atau 'ngrasani' di mbatin batin.
Mereka akan tetap bukber, tarawih, dan membaca setiap malam, subuh dan berpuasa sampai malam, meskipun mata dan telinga untuk melihat dan mendengar senonoh, pikiran kita mencemari akal sehat, bahkan mengutil rezeki orang lain untuk mencuri uang negara alias korupsi, dan menyumbangkan sebagian untuk donasi nya, amal, masjid sumbangan, panti asuhan, atau hanya takjil gratis. Masha Allah.
Apa arti dari puasa bagi kita dan mereka?
Apa keseriusan bahwa kita telah siap (targhib)?
Mari Cari Ramadhan dengan Keseriusan-NYA.
Tentang kesungguhan (jiddiyah). Sheikh Abdullah Al Azzam tidak pernah memberikan contoh istilah yang terbaik (mastato'tum) yang mencerminkan penuh kesungguhan. Yang merupakan upaya terbaik kita lakukan hingga Tuhan menghentikan mereka.
Setelah Syekh ditanya oleh mahasiswa, "Ya sheikh apa yang dimaksud dengan segala sesuatu yang Anda dapat (mastato'tum). Syekh juga membawa murid-muridnya ke lapangan dan meminta mereka untuk lap terbaik mereka. Startnya yang sama tetapi finish dan jumlah putaran dari masing-masing berbeda.
Ada 3 putaran sudah lelah dan menyerah tidak lebih dari itu. Setelah sendiri menepi untuk istirahat. Syekh juga ternyata berjalan.
Mahasiswa kaget dan tidak tega melihat guru tua untuk menjalankan lap, mereka berusaha untuk menahan apa yang akan dilakukan syekh tetapi tidak berhasil. Siswa telah melihat syeikhnya menghadapi pucat tanda kelelahan tetapi siswa hanya bisa berteriak dan memohon, Yaa cukup !!!! sheikh, "Saya tidak tega melihat syekh lakukan. Aku takut tidak ada yang terjadi di syekh." Berhenti ...... Berhenti Syekh syekh.
Tapi Sheikh Abdullah al-azzam terus berlari dan akhirnya syekh jatuh pingsan. Mahasiswa menambahkan panik dan mencoba untuk membuat syekh Abdullah al-azzam terbangun. Dia akhirnya sadar dan sadar. Dia segera berkata ..
Ini disebut yang terbaik yang kita dapat (mastato 'tum).
Kami mencoba maksimal kepada Allah saja akan berhenti perjuangan kita.
Subhanallah. Allah Maha Besar
Puasa Ramadhan adalah taklif (beban). Sejarah puasa Ramadan Nabi pertama kali dilakukan pada 2 hijrah.
Perintah ini diturunkan puasa, QS. 2: 183, setelah propagasi 15 tahun dari Islam Nabi. 13 dari Makah 2 tahun di Madinah. 15 tahun Rasul mempersiapkan iman yang luar biasa. Karena QS. 2: 183 dimulai dengan kalimat, tidak secara langsung. Ini berisi pelajaran yang sangat mahal bagi kita, bahwa 15 tahun dari Nabi mempersiapkan iman dewasa untuk teman-temannya, sehingga siap untuk menerima syariat. Taklif. Beban.
Sehingga saat dipanggil langsung nyaut (istijabah Al Fauriyah / istijabah littanfidz; merespon dengan segera). Dan hasilnya menakjubkan indah.
Bagaimana dengan kita ???
Pembicara: Ust. Umar Hidayat M. Ag.
Sumber muslimazone
Minggu, 12 Juni 2016
Sebuah Fatwa Yang Mengejutkan Bahwa Keluar Dari Grup Whatsapp Dinyatakan Haram Loh, Kira-Kira Apa Yang Menjadi Pertimbangannya ?
|