Latest News

Senin, 22 Februari 2016

Ya Ustadz, Apakah Sah Status Hubungan Kami Ini?


Saudaraku yang semoga dirahmati Allah, di dalam agama Islam, seorang laki-laki muslim (suami) memiliki tiga talak (cerai) untuk tiga kali. Hal itu sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (al-Baqarah : 229)

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ

“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.” (al-Baqarah: 230)
Artinya, jika seorang suami menalak istrinya untuk kali pertama dan kedua, maka dia dapat merujuk kembali istrinya selama belum berakhir masa ‘iddah-nya (masa tunggu bagi seorang wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah ditalak/dicerai atau kematian suaminya) tanpa akad baru lagi dan mahar baru lagi. Apabila telah selesai masa ’iddah-nya, maka berdasarkan kesepakatan para ulama fikih tidak sah untuk merujuk kembali istri yang telah ditalaknya itu kecuali dengan aqad baru dan mahar baru lagi. Hal itu sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 229).
Dalam masalah sahnya rujuk, terjadi silang pendapat di antara para ulama, namun pendapat yang nampak rajih (kuat) adalah bahwasannya rujuk itu sah dengan melakukan jima’ (persetubuhan) dengan atau tanpa niat untuk rujuk. Adapun tentang muqaddimah (pemanasan) sebelum jima’, maka itu tergantung dari niatnya. Jika ia berniat dengan itu untuk rujuk, maka sah rujuknya. Namun jika ia tidak berniat untuk rujuk, maka tidak sah rujuknya.
Namun yang menjadi permasalahan bagi si penanya di sini, apakah rujuk kepada istri yang telah ditalak itu diwajibkan menghadirkan saksi atau tidak?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat pula. Akan tetapi pendapat yang nampak lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama seperti imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Asy-Syafi’i menurut pendapat terbarunya, dan pendapat imam Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau. Mereka berpendapat bahwa saksi dalam merujuk istri yang telah ditalak hanyalah bersifat anjuran (disunnahkan), dan tidak wajib. Di antara alasan mereka, sebagai berikut:
1. Rujuk adalah hak suami yang tidak perlu adanya kerelaan istri ataupun wali, sehingga tidak diwajibkan adanya saksi.
2. Rujuk bukan merupakan akad baru, akan tetapi hanyalah tindakan melanjutkan hubungan pernikahan yang telah terputus akibat jatuhnya talak satu dan dua.
3. Firman Allah Ta’ala yang berbunyi,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

“Apabila mereka Telah mendekati akhir ‘iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (ath-Thalaq: 2)
Perintah menghadirkan saksi dalam ayat ini bersifat anjuran, bukan wajib. Hal itu disebabkan karena beberapa sebab, di antaranya:
a) Bahwa perintah Allah dalam ayat tersebut sama seperti perintah-Nya dalam ayat yang lain:
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ

“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli….”. (al-Baqarah: 282).
Menurut pendapat mayoritas ulama bahwa jual beli bisa sah tanpa harus adanya saksi.
Selain itu, Nabi n tatkala memerintahkan Umar bin Khaththab z agar Ibnu Umar (putranya) merujuk istrinya (yang telah ditalaknya), beliau bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا فليراجعها

“Perintahkan ia untuk merujuk istrinya.” (R iwayat Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadits ini, Nabi n tidak menyebutkan tentang persaksian.
b) Menghadirkan saksi dalam rujuk hanya untuk kehati-hatian saja dari pengingkaran salah satu pihak, dan demi menutup rapat-rapat jalan menuju pertikaian dan perselisihan.
c) Talak (cerai) adalah hak suami yang boleh dilakukan tanpa adanya saksi. Demikian pula rujuk merupakan hak suami, maka boleh dilakukan tanpa harus ada saksi.
d) Dalam surat ath-Thalaq ayat 2 disebutkan pertama kali perintah untuk merujuk atau melepaskan istri yang telah ditalak, kemudian setelah itu disebutkan perintah menghadirkan saksi. Dengan demikian dapat diketahui, rujuk itu dapat terjadi sebelum adanya saksi, dan bahwa saksi bukanlah syarat sahnya rujuk. (Lihat Shahih Fiqhus Sunnah, III/272).
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rohimhulloh- berkata: “Jika istri yang dirujuknya itu hadir, maka keberadaan saksi di sini bukan merupakan kewajiban. Namun jika istrinya ini tidak berada di tempat (ghaib), maka keberadaan saksi adalah wajib.” (asy-Syarhul-Mumti’, XIII/185-186).
Inilah beberapa alasan yang menunjukkan bahwa perintah menghadirkan saksi dalam ayat tersebut adalah bersifat istihbab (anjuran), dan bukan wajib.
Dengan demikian, rujuk Anda yang kedua kepada istri anda tanpa saksi dan tanpa melaporkan kepada mahkamah syariah adalah sah dan tidak ada yang dipermasalahkan. Sedangkan surat cerai yang Anda terima dari mahkamah syariah tidak perlu dijadikan pegangan (diabaikan saja). Sebab, jika ketetapan hukum Allah dan rasul-Nya bertentangan dengan undang-undang buatan manusia, maka kewajiban seorang muslim adalah mengikuti dan memegang teguh ketetapan Allah dan rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzaab: 36)
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat menghilangkan kebingungan, dan menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-shawab.

Illustrasi Pernikahan
Illustrasi Pernikahan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Arsip Blog