Latest News

Kamis, 25 Februari 2016

(Subhanallah) Hanya Karena Membuang Duri Dapat Menjadi Penyebab Seseorang Mendapat Surga


Rasulullah ﷺ bersabda dalam sebuah hadis bahwa iman memiliki lebih dari tujuh puluh cabang. Cabang yang paling tinggi dari cabang-cabang keimanan adalah perkataan “la ilaha illallah” dan cabang yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Secara tidak langsung, hadis tersebut juga mengisyaratkan bahwa keimanan seseorang itu bertingkat-tingkat sesuai dengan ilmu dan amal yang ia perbuat. Hanya saja, jangan remehkan suatu amal kebaikan, sekalipun terlihat sedikit dan dianggap remeh oleh manusia. Bisa jadi, Allah subhanahu wa ta’ala akan mengganjar amalan yang dikerjakan secara ikhlas tersebut dengan pahala yang berlipat.

Rasulullah ﷺ telah mengisahkan bahwa ada seorang laki-laki yang masuk surga karena ia menyingkirkan duri yang berada di suatu jalan, yang dilakukan dengan tujuan agar tidak mengganggu kaum muslimin. Sebab itu, Allah subhanahu wa ta’ala menerima amal baiknya tersebut dan mengganjarnya dengan balasan yang lebih baik. Subhanallah … sungguh Maha Luas rahmat Allahsubhanahu wa ta’ala. Semoga hal ini dapat menjadi ibrah bagi kita semua. Allahul Muwaffiq.


Alkisah
Ada seorang laki-laki yang sedang berjalan-jalan di sebuah jalan. Ia menjumpai rerantingan yang berduri yang menghambat jalan tersebut, kemudian ia menyingkirkannya. Lalu ia bersyukur kepada Allahsubhanahu wa ta’ala, maka Allah mengampuni dosa-dosanya.
Dalam sebagian riwayat dari Imam Muslim dari sahabat Abu Hurairah pula, beliau berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda, “Ada seseorang laki-laki yang melewati ranting berduri berada di tengah jalan. Ia mengatakan, ‘Demi Allah, aku akan menyingkirkan duri ini dari kaum muslimin sehingga mereka tidak akan terganggu dengannya.’ Maka Allah pun memasukkannya ke dalam surga.”
Dalam riwayat lain, juga dari sahabat Abu Hurairah dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, “Sungguh, aku telah melihat seorang laki-laki yang tengah menikmati kenikmatan di surga disebabkan ia memotong duri yang berada di tengah jalan, yang duri itu mengganggu kaum muslimin.”
Kisah sahih di atas diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dalam Kitab “Al-Adzan“, Bab “Fadhlu Tahjir ila Zhuhri“, no. 652; dan Kitab “Al-Mazhalim“, Bab “Man Akhadzal Ghuzna wama Yu’dzinnas fith Thariq“, no. 2472; juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Kitab “Al-Bir wash-Shilah wal Adab“, no. 1914; dan Kitab “Al-Imarah“, no. 1914.
Ibrah
Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah ﷺ menyebutkan bahwa Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
مَنْ آ ذَى لي وَليِّاًفَقَدْ اسْتَحَقَّ مُحَا رَبَتِي
“Barang siapa yang menyakiti wali-Ku, ia berhak mendapatkan permusuhan-Ku.” (H.r. Abu Ya’la Al-Musili, 14:372)
Para wali Allah subhanahu wa ta’ala adalah kaum mukminin yang selalu taat kepada perintah-perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan memiliki komitmen dengan sunah-sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Yang dimaksud dengan wali Allah subhanahu wa ta’ala adalah orang yang berilmu tentang Allah subhanahu wa ta’ala, selalu menjalankan ketaatan kepada-Nya, dan ikhlas dalam beribadah kepada-Nya.”
Sungguh mulia kedudukan kaum mukminin di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kehormatan. Mereka tidak boleh diusik atau disakiti, apalagi dimusuhi dan diganggu. Bahkan dalam sebuah hadis Rasulullah ﷺ bersabda,
إِنَّ دِ مَاءَ كُمْ وَأَمْوَا لَكُمْ حَرَا مٌ عَلَيْكُمْ كَحُرْ مَةِ يَوْ مِكُمْ هَذَا في شَهْرِ كُمْ هَذَا
“Sesungguhnya, darah-darah kalian dan harta-harta kalian itu haram seperti haramnya hari dan bulan kalian ini.” (H.r. Muslim, 6:245)
Dalam kisah di atas, Rasulullah ﷺ menceritakan seseorang yang sedang berjalan di suatu jalan, kemudian menjumpai sebuah pohon yang memiliki banyak duri dan menghalangi jalan kaum muslimin sehingga dapat mengganggu orang-orang yang melewatinya. Kemudian, ia bertekad kuat untuk memotong dan membuangnya dengan tujuan menghilangkan gangguan dari jalan kaum muslimin. Dengan sebab itu, Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni dosa-dosanya dan memasukkan ia ke dalam surga-Nya. Bahkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya sedang menikmati kenikmatan di surga disebabkan amalannya tersebut.
Sungguh, laki-laki tersebut telah beramal dengan amalan yang terlihat remeh tetapi ia diganjar dengan balasan yang teramat besar. Sungguh, rahmat Allah subhanahu wa ta’ala mahaluas dan keutamaan-Nya mahaagung. Apa yang dilakukan laki-laki tersebut adalah salah satu bagian kecil dari petunjuk dan syariat yang telah dibawa oleh Rasulullah ﷺ . Memang benar bahwa Rasulullah ﷺ telah memerintahkan kita untuk berbuat sebagaimana yang telah dilakukan oleh laki-laki tersebut. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan dari jalan Abu Barzah Al-Aslami, beliau bertanya kepada Rasulullah ﷺ,
يَا رَ سُوْ لَ الله ِدُ لَّنِي عَلَى عَمَلٍ أَ نْتَفِعُ بِهِ قَالَ:اِعْزِلْ الْأَ ذَى عَنْ طَرِ يْقِ الْمُسْلِمِيْنَ
“Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepadaku suatu amalan yang dapat bermanfaat bagiku.” Beliau menjawab, “Singkirkanlah gangguan dari jalan-jalan kaum muslimin.” (H.r. Muslim, 13:49; Ibnu Majah, 11:78)
Bahkan, Rasulullah ﷺ mencela dan memperingatkan dengan keras dari perilaku yang dapat mengganggu kaum muslimin di jalan-jalan mereka, dalam hal ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ آذَى الْمُسْلِمِينَ فِي طُرُ قِهِمْ وَجَبَتْ عَلَيْهِ لَعْنَتُهُمْ
“Barang siapa mengganggu kaum muslimin di jalan-jalan mereka, wajib atasnya laknat mereka.”
Mutiara kisah
Kisah di atas banyak sekali mengandung mutiara faedah berharga, di antaranya:
1. Besarnya keutamaan menyingkirkan gangguan dari jalan kaum muslimin dan adanya pahala yang besar yang diberikan bagi siapa saja yang melakukannya.
2. Luasnya rahmat Allah subhanahu wa ta’ala dan agungnya pahala yang disiapkan buat hamba-hamba-Nya yang beriman. Allah subhanahu wa ta’ala memasukkan laki-laki tersebut ke dalam surga sekaligus dengan sebab amalannya yang sedikit, yaitu menyingkirkan gangguan dari jalan kaum muslimin, karena memang seseorang masuk surga itu berkat fadilah Allah subhanahu wa ta’ala yang dianugerahkan kepadanya, bukan sekadar karena amalan yang ia perbuat. Seandainya bukan karena fadilah Allahsubhanahu wa ta’ala, tentulah tidak ada seorang pun yang dapat masuk surganya Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah ﷺ pernah bersabda, “Dekatkanlah diri kalian kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan tepatilah kebenaran. Ketahuilah, bahwa tidaklah salah seorang dari kalian akan selamat (dari neraka) dengan amalnya.” Mereka mengatakan, “Apakah engkau juga demikian, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Demikian juga aku. Hanya saja, Allah telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepadaku.” (H.r. Muslim, no. 2816)
3. Pepohonan yang boleh ditebang dan dibuang adalah pepohonan yang mengganggu kaum muslimin. Adapun apabila bermanfaat bagi kaum muslimin seperti pohon yang digunakan untuk berteduh manusia maka tidak boleh ditebang, kecuali apabila ada maslahat tertentu. Bahkan, Rasulullah ﷺ sangat mendorong kaum muslimin untuk menanam tanaman-tanaman atau tumbuhan yang dapat berbuah dan bermanfaat bagi manusia. Dalam sebuah hadis, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَامِنْ مُسْلِمٍ يَغْر سُ غَرْ سًا إِ لَّا كَانَ مَاأُكِلَ مِنْهُ لَهُ صَدَ قَةٌوَمَاسُرِقَ مِنْهُ لَهُ صَدقَةٌوَمَا أَ كَلَ السَّبُحُ مِنْهُ فَهُوَ لَهُ صَدَ قَةٌ وَمَا أَ كَلنْ الطًيْرُ فَهُوُ فَهُوُ لَهُ صَدَ قَةٌ وَ لَا يَرْ زَؤُهُ أَ حَدٌ إِ لَّا كَانَ لَهُ صَدَقَةٌ
“Tidak seorang muslim pun yang menanam suatu tanaman melainkan bagian yang dimakan dari pohon tersebut adalah sedekah baginya, bagian yang dicuri dari pohon tersebut adalah sedekah baginya, bagian yang dimakan oleh burung-burung adalah sedekah baginya, serta bagian yang dikurangi oleh seseorang juga sedekah baginya.” (H.r. Al-Bukhari, 8:118; Muslim, 8:176; At-Tirmidzi, 5:253)
4. Kisah di atas sekaligus merupakan peringatan keras kepada sebagian manusia yang tidak hanya enggan menyingkirkan gangguan dari jalan tetapi justru membuang sampah-sampah rumahnya dan sisa-sisa makanan mereka ke jalan-jalan yang dilewati kaum muslimin. Akibatnya, hal itu dapat mengganggu dan menghambat saudaranya yang lain yang melewati jalan tersebut. Wal’iyadzubillah. Seandainya mereka mengetahui pahala yang akan diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala kepada siapa saja yang mau ikhlas berbuat baik kepada sesama kaum muslimin, tentulah mereka tidak akan berbuat sedemikian itu.
Wallahu a’lam. Walhamdulillahi Rabbil ’alamin.

Batu Ajaib Di Zaman Nabi Musa



Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dahulu Bani Isra’il biasa mandi dalam keadaan telanjang sehingga mereka pun bisa melihat aurat temannya satu sama lain. Adapun Musa ‘alaihis salam mandi dalam keadaan sendiri. Maka mereka pun berkomentar, ‘Demi Allah, tidak ada yang mencegah Musa untuk mandi bersama-sama dengan kita melainkan pasti karena kemaluannya bengkak (mengidap kelainan).’” Nabi menceritakan, “Maka suatu saat Musa berangkat untuk mandi, lalu dia letakkan pakaiannya di atas sebongkah batu. Tiba-tiba batu itu berlari membawa pergi bajunya.” Nabi berkata, “Maka Musa pun mengejar larinya batu itu seraya berteriak, ‘Hai batu, kembalikan pakaianku! Hai batu, kembalikan pakaianku!’. Sampai akhirnya Bani Isra’il bisa melihat aurat Musa kemudian mereka berkomentar, ‘Demi Allah, ternyata tidak ada -kelainan- apa-apa pada diri Musa’. Maka berhentilah batu itu sampai orang-orang memandanginya.” Nabi berkata, “Kemudian Musa pun mengambil pakaiannya dan mendaratkan pukulan -tongkat-nya kepada batu tersebut.” Abu Hurairah berkata, “Demi Allah, di atas batu itu terdapat enam atau tujuh bekas pukulan -tongkat- Musa.” (HR. Bukhari dan Muslim, lihat Syarh Muslim [3/146])


Batu Ajaib Di Zaman Nabi Musa AS
Batu Ajaib Di Zaman Nabi Musa AS
Hadits yang agung ini mengandung pelajaran, di antaranya:
1. Bolehnya mandi dalam keadaan telanjang bulat apabila sedang bersendirian (sepi) dan tidak terlihat orang lain, namun menutup diri itu lebih utama (lihat judul bab hadits ini dalam Syarh Muslim [3/146], lihat juga Shahih Bukhari, Kitab al-Ghusl, hal. 72).
2. Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan Nabi Musa ‘alaihis salam yang memiliki sifat pemalu (lihat Shahih Bukhari, Kitab Ahadits al-Anbiya’, hal. 715).
3. Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat malu. Bahkan, rasa malu itu termasuk cabang keimanan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Iman itu terdiri dari tujuh puluh sekian cabang, sedangkan rasa malu adalah salah satu cabang penting keimanan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah, lihat Syarh Muslim [2/87]).
4. Malu adalah akhlak para Nabi.
5. Larangan menyakiti para Nabi (lihat Shahih Bukhari, Kitab Tafsir al-Qur’an, hal. 1012).
6. Wajibnya membenarkan berita yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meskpun tampaknya tidak bisa diterima oleh akal manusia.
7. Hadits ini menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah ta’ala, sehingga Allah bisa membuat batu -benda mati- bisa berlari, meskipun ia tidak punya kaki.
8. Perintah menutup aurat dan larangan mempertontonkannya di hadapan khalayak.
9. Tercelanya menyebarkan kabar burung yang tidak jelas kebenarannya (qila wa qola).
10. Wajibnya mengecek berita (tatsabbut) untuk membuktikan kebenarannya, terlebih lagi jika isinya mengandung kesan negatif (celaan) pada diri orang-orang yang terhormat semacam ulama ataupun umara’.
11. Islam merupakan agama yang sempurna dan menjunjung tinggi akhlak mulia, sehingga etika mandi pun diajarkan supaya kehormatan diri manusia terjaga.
12. Islam mengajarkan kebersihan.
13. Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya untuk menyingkap kerancuan pemahaman yang ada di tengah-tengah masyarakat.
14. Terkadang orang menyangka bahwa suatu musibah yang menimpanya merupakan keburukan baginya, namun sebenarnya ada hikmah yang agung di balik itu semua yang manfaatnya kembali kepada orang itu sendiri.
15. Bersumpah dengan menyebut nama Allah, bukan dengan nama makhluk.
16. Tawakal harus disertai dengan melakukan sebab, tidak cukup hanya bersandar kepada Allah.
17. Boleh membalas kejahatan dengan kekerasan dengan melihat ukuran kejahatannya.

Selasa, 23 Februari 2016

Inilah Berbagai Keutamaan Yang Dijanjikan Alloh SWT Bagi Para Penghafal Alquran


Asalamualaikum Warohmstullahi Wabarokatuh.
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Menghafal al-Quran termasuk ibadah jika dilakuka ikhlas karena Allah dan bukan untuk mengharapkan pujian di dunia. Bahkan salah satu ciri orang yang berilmu menurut standar al-Quran, adalah mereka yang memiliki hafalan al-Quran. Allah berfirman,
بَلْ هُوَ آَيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِي صُدُورِ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ وَمَا يَجْحَدُ بِآَيَاتِنَا إِلَّا الظَّالِمُونَ
Bahkan, Al Quran itu adalah ayat-ayat yang nyata, yang ada di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu..(QS. al-Ankabut: 49).
Allah memberikan banyak keutamaan bagi para penghafal al-Quran, di dunia dan ahirat.
Sudah Berapa Surat Dalam Alquran Yang Kau Hapal?
Berikut diantaranya,
Pertama, dia didahulukan untuk menjadi imam ketika shalat jamaah
Dari Abu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللَّهِ فَإِنْ كَانُوا فِى الْقِرَاءَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ … وَلاَ يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِى سُلْطَانِهِ…
Yang paling berhak jadi imam adalah yang paling banyak hafalan al-Quran-nya. Jika dalam hafalan quran mereka sama, maka didahulukan yang paling paham dengan sunnah… dan seseorang tidak boleh menjadi imam di wilayah orang lain. (HR. Ahmad 17526, Muslim 1564, dan yang lainnya)
Dari Ibnu Umar, beliau bercerita,
Ketika para muhajirin pertama tiba di Quba, sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang menjadi imam mereka shalat adalah Salim mantan budak Abu Hudzaifah. Dan beliau adalah orang paling banyak hafalan qurannya. (HR. Bukhari 660)
Kedua,  ketika meninggal, dia didahulukan
Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bercerita,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggabungkan dua jenazah uhud dalam satu kain kafan. Setiap hendak memakamkan, beliau tanya, “Siapa yang paling banyak hafalan qurannya?”
Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memposisikan yang paling banyak hafalannya di posisi paling dekat dengan lahat. Lalu beliau bersabda,
أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلاَءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Saya akan menjadi saksi bagi mereka kelak di hari kiamat. (HR. Bukhari 1343 & Turmudzi 1053)
Ketiga, diutamakan untuk menjadi pemimpin jika dia mampu memagangnya
Ketika Umar radhiyallahu ‘anhu menjadi khalifah, beliau menunjuk Nafi’ bin Abdul Harits untuk menjadi gubernur di Mekah.
Suatu ketika, Umar bertemu Nafi’ di daerah Asfan.
“Siapa yang menggantikanmu di Mekah?” tanya Umar.
“Ibnu Abza.” Jawab Nafi’.
“Siapa Ibnu Abza?” tanya Umar.
“Salah satu mantan budak di Mekah.” Jawab Nafi’.
“Mantan budak kamu jadikan sebagai pemimpin?” tanya Umar.
“Dia hafal al-Quran, dan paham tentang ilmu faraid.” Jawab Nafi’.
Kemudian Umar mengatakan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
“Sesungguhnya Allah mengangkat sebagian kaum berkat kitab ini (al-Quran), dan Allah menghinakan kaum yang lain, juga karena al-Quran.” (HR. Ahmad 237 & Muslim 1934)
Keempat, kedudukan hafidz al-Quran di surga, sesuai banyaknya ayat yang dia hafal
Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا
Ditawarkan kepada penghafal al-Quran, “Baca dan naiklah ke tingkat berikutnya. Baca dengan tartil sebagaimana dulu kamu mentartilkan al-Quran ketika di dunia. Karena kedudukanmu di surga setingkat dengan banyaknya ayat yang kamu hafal.” (HR. Abu Daud 1466, Turmudzi 3162 dan dishahihkan al-Albani)
Kelima, ditemani Malaikat
Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَثَلُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهْوَ حَافِظٌ لَهُ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ ، وَمَثَلُ الَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَهْوَ يَتَعَاهَدُهُ وَهْوَ عَلَيْهِ شَدِيدٌ ، فَلَهُ أَجْرَانِ
Orang yang membaca dan menghafal al-Quran, dia bersama para malaikat yang mulia. Sementara orang yang membaca al-Quran, dia berusaha menghafalnya, dan itu menjadi beban baginya, maka dia mendapat dua pahala. (HR. Bukhari 4937)
Keenam, di akhirat, akan diberi mahkota dan pakaian kemuliaan
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَجِىءُ الْقُرْآنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيَقُولُ يَا رَبِّ حَلِّهِ فَيُلْبَسُ تَاجَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ زِدْهُ فَيُلْبَسُ حُلَّةَ الْكَرَامَةِ ثُمَّ يَقُولُ يَا رَبِّ ارْضَ عَنْهُ فَيَرْضَى عَنْهُ فَيُقَالُ لَهُ اقْرَأْ وَارْقَ وَتُزَادُ بِكُلِّ آيَةٍ حَسَنَةً
Al-Quran akan datang pada hari kiamat, lalu dia berkata, “Ya Allah, berikan dia perhiasan.” Lalu Allah berikan seorang hafidz al-Quran mahkota kemuliaan. Al-Quran meminta lagi, “Ya Allah, tambahkan untuknya.” Lalu dia diberi pakaian perhiasan kemuliaan. Kemudian dia minta lagi, “Ya Allah, ridhai dia.” Allah-pun meridhainya. Lalu dikatakan kepada hafidz quran, “Bacalah dan naiklah, akan ditambahkan untukmu pahala dari setiap ayat yang kamu baca.(HR. Turmudzi 3164 dan beliau menilai Hasan shahih).
Ketujuh, al-Quran memberi syafaat baginya
Dari Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ
Rajinlah membaca al-Quran, karena dia akan menjadi syafaat bagi penghafalnya di hari kiamat. (HR. Muslim 1910).
Kedelapan, orang tuanya akan diberi mahkota cahaya kelak di akhirat
Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
من قرأ القرآن وتعلَّم وعمل به أُلبس والداه يوم القيامة تاجاً من نور ضوؤه مثل ضوء الشمس ، ويكسى والداه حلتين لا تقوم لهما الدنيا فيقولان : بم كسينا هذا ؟ فيقال : بأخذ ولدكما القرآن
Siapa yang menghafal al-Quran, mengkajinya dan mengamalkannya, maka Allah akan memberikan mahkota bagi kedua orang tuanya dari cahaya yang terangnya seperti matahari. Dan kedua orang tuanya akan diberi dua pakaian yang tidak bisa dinilai dengan dunia. Kemudian kedua orang tuanya bertanya, “Mengapa saya sampai diberi pakaian semacam ini?” Lalu disampaikan kepadanya, “Disebabkan anakmu telah mengamalkan al-Quran.” (HR. Hakim 1/756 dan dihasankan al-Abani).
Dalam riwayat lain, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
يجيء القرآن يوم القيامة كالرجل الشاحب يقول لصاحبه : هل تعرفني ؟ أنا الذي كنتُ أُسهر ليلك وأظمئ هواجرك… ويوضع على رأسه تاج الوقار ، ويُكسى والداه حلَّتين لا تقوم لهما الدنيا وما فيها ، فيقولان : يا رب أنى لنا هذا ؟ فيقال لهما : بتعليم ولدكما القرآن
Al-Quran akan datang pada hari kiamat seperti orang yang wajahnya cerah. Lalu bertanya kepada penghafalnya, “Kamu kenal saya? Sayalah membuat kamu bergadangan tidak tidur di malam hari, yang membuat kamu kehausan di siang harimu… ” kemudian diletakkan mahkota kehormatan di kepalanya, dan kedua orang tuanya diberi pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia seisinya. Lalu orang tuanya menanyakan, “Ya Allah, dari mana kami bisa diberi pakaian seperti ini?” kemudian dijawab, “Karena anakmu belajar al-Quran.” (HR. Thabrani dalam al-Ausath 6/51, dan dishahihkan al-Albani).
Allahu a’lam.


Senin, 22 Februari 2016

Mukjizat Perjalanan Isra dan Mi'raj


Perjalanan isra dan mi’raj adalah sebuah perjalanan yang menunjukkan kebesaran Allah Ta’ala dan keagungan ayat-ayat-Nya. Sebuah perjalanan yang tidak mampu dicapai oleh kecerdasan akal manapun untuk melogikakannya. Sebuah perjalanan yang menunjukkan betapa mulia orang yang diperjalankan pada malam itu, yakni Nabi kita Muhammad bin Abdullah shalawatu Rabbi wa salamuhu ‘alaihi.
Sebagaimana telah berlalu penjelasan hikmah dari perjalanan isra dan mi'raj bahwasanya perjalanan ini merupakan anugerah ruhiyah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, memantapkan hati beliau, dan mengokohkan langkah beliau dalam mengarungi perjalanan dakwah yang begitu berat. Perjalanan ini juga sekaligus menjadi pembeda mana orang-orang yang benar keimanannya kepada beliau dan mana orang-orang yang mengkufurinya.
Isra adalah perjalanan yang dilakukan Nabi di bumi, yang merupakan perjalanan yang ajaib dalam pandangan logika manusia. Perjalanan ini adalah perjalanan dari Masjid al-Haram di Mekah menuju Masjid al-Aqsha di Jerusalem, Palestina. Perjalanan antar negeri ini dilalui dengan kecepatan yang luar biasa, jarak antara kedua masjid atau kota tersebut biasanya ditempuh dalam beberapa hari, namun Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menempuhnya kurang dari satu malam atau dalam sebagian waktu di malam hari. Allah Ta’ala berfirman,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra: 1)
Adapun mi’raj adalah perjalanan langit. Sebuah perjalanan dari bumi kemudian melintasi lapisan langit yang tujuh menuju sidratul muntaha dan kembali lagi ke Masjid al-Haram. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ رَآَهُ نَزْلَةً أُخْرَى عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى لَقَدْ رَأَى مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 13-18)
Dua perjalanan ini ditempuh hanya dalam satu malam saja, dan terjadi satu tahun sebelum Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah.
Apakah Isra dan Mi’raj Merupakan Mukjizat?
Sebagaimana telah kita ketahui mukjizat adalah suatu peristiwa atau kejadian menakjubkan yang terjadi di luar kebiasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menampakkan kejadian tersebut melalui tangan para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti kebenaran dakwah mereka. Kejadian itu tidak mungkin dikalahkan. Selain itu, mukjizat selalu diiringi dengan pengakuan kenabian. Diistilahkan dengan mukjizat karena apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala itu membuat manusia lemah untuk mendatangkan yang semisal, apalagi mengalahkannya. Mukjizat juga merupakan tantangan yang diajukan oleh orang-orang kafir kepada para nabi, lalu Allah memenangkan nabi-nabi-Nya dari para penentang itu. Inilah makna mukjizat yang disepakati oleh Imam as-Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulumil Quran.
Jika disimak dari pengertian di atas, maka isra dan mi’raj tidak mencakup pengertian mukjizat secara utuh karena mukjizat tidak dipinta oleh orang-orang kafir Quraisy Mekah, tidak juga disaksikan oleh mereka sebagaimana mukjizat nabi-nabi lainnya, kemudian para penentang ini tidak dipinta untuk mendatangkan hal serupa. Isra dan mi’raj hanya mengandung bagian dari pengertian mukjizat berupa kejadian menakjubkan yang terjadi di luar kebiasaan.
Isra dan mi’raj adalah ujian bagi kaum muslimin dan pergantian fase dakwah dari satu hal ke hal lainnya sebagaimana hijrah dari Mekah ke Madinah. Allahu a’lam.

Ilustrasi Peristiwa Isra Miraj

Peperangan di Masa Rasulullah SAW Bagian ( 3 / 3 )


Pada 680-an seorang pendeta bernama John Bar Penkaye yang sedang menyusun sejarah dunia termenung tentang ihwal penaklukkan yang dilakukan oleh bangsa Arab. Ia bertanya-tanya, “Bagaimana bisa, orang-orang tanpa senjata, berkuda tanpa baju baja dan perisai, berhasil memenangkan pertempuran… dan meruntuhkan semangat kebanggaan orang-orang Persia?” Ia semakin terenyak, “hanya dalam periode yang sangat singkat seluruh dunia diambil alih orang-orang Arab; mereka menguasai seluruh kota yang dikuasai benteng, mengambil alih pengawasan dari laut ke laut, dan dari timur ke barat –Mesir, dari Crete ke Cappadocia, dari Yaman ke Pegunungan Kaukasus, bangsa Armenia, Syiria, Persia, Biyzantium, dan seluruh wilayah di sekitarnya.” (Kennedy, 2008: 1).
Apa yang membuat penaklukkan muslim Arab begitu mencengangkan dengan efek permanennya yang terjadi dalam Bahasa dan agama? Apa yang membuat wilayah-wilayah taklukkan yang multikultural dari segi Bahasa dan agama menjadi berbaur dan menyatu?
Anda akan dengan mudah menjawab dua pertanyaan di atas jika mengikuti tulisan ini dari awal. Ya, perang yang dilakoni oleh umat Islam berbeda dengan perang-perang lainnya. Ya, cara umat Islam memperlakukan musuh, tawanan, dan daerah taklukkanlah membuat hati-hati manusia tunduk sebelum mereka wilayah mereka ditaklukkan.
Penulis sepenuhnya menyadari, hal ini akan sulit dipahami oleh para pembaca. Karena kita menyaksikan pemberitaan tentang dunia Arab, melulu bermuatan negatif. Sadar tidak sadar, otak kita “dicuci” hingga di antara kita sampai bertanya-tanya, mengapa Islam diturunkan di Arab? Lalu jawaban pun terlontar, diturunkan Islam di sana saja tingkah mereka masih demikian, bagaimana kalau Islam tidak turun di sana. Media telah berhasil mencuci otak kita. Dan kita pun tidak mengimbanginya dengan membaca sejarah kita, sejarah kaum muslimin.
Dalam artikel ke-3 ini, penulis akan mencuplikkan peperangan Rasulullah dari perang yang ke-20 hingga ke-27.
Kedua puluh: Perang Hudaibiyah.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Dzul Qa’dah tahun 6 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama 1400 orang sahabatnya hendak menunaikan umrah. Sesampainya di Hudaibiyah mereka dihalangi oleh orang-orang Quraisy. Lalu terjadilah perjanjian damai.
Kedua puluh satu: Perang Khaibar
Perang besar ini terjadi pada bulan Muharam tahun ke-7 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallammemimpin 1400 orang pasukan infantri dan 20 pasukan berkendara menghadapi 10.000 orang Yahudi Khaibar yang dipimpin oleh Kinanah bin Abi al-Haqiq.
Sebelumnya, orang-orang Yahudi telah memerangi umat Islam pada Perang Uhud dan Ahzab. Kemudian dari Khaibar, mereka berencana menyerang Madinah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mendahului rencana mereka. Dan Allah memberikan kemenangan kepada kaum muslimin.
Dalam perang ini, 50 orang sahabat Nabi terluka dan 18 gugur di medan tempur. Sementara dari pihak Yahudi 93 orang tewas.
Kedua puluh dua: Perang Wadi al-Qura.
Perang ini terjadi pada bulan Muharam tahun 7 H. Setelah tuntas menghadapi Yahudi di Khaibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 1382 orang sahabatnya menghadapi Yahudi Wadi al-Qura. Perang ini berakhir dengan kemenangan kaum muslimin dan 11 orang Yahudi tewas.
Kedua puluh tiga: Perang Dzatu ar-Riqaq.
Perang ini terjadi pada bulan Muharam tahun 7 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 400 orang sahabatnya menghadapi pasukan sekutu orang-orang musyrik dari Bani Ghathafan, Bani Muharib, Bani Tsa’labah, dan Bani Anmar.
Perang ini dilatar-belakangi oleh seruan Bani Ghathafan kepada sekutu-sekutunya untuk berangkat menyerang umat Islam di Madinah. Namun, setelah mengetahui kaum muslimin telah bersiap meladeni mereka, mereka pun lari dan tercerai-berai.
Kedua puluh empat: Penaklukkan Kota Mekah.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan tahun 8 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 10.000 orang sahabatnya untuk menyerang Mekah yang telah membatalkan perjanjian damai di Hudaibiyah. Mekah memerangi Bani Bakr yang merupakan sekutu Nabi dalam perjanjian tersebut.
Peristiwa ini berakhir dengan menyerahnya orang-orang Mekah. Akhirnya, setelah 8 tahun berpisah, Rasulullah kembali menginjakkan kaki beliau di tanah kelahirannya tersebut.
Kedua puluh lima: Perang Hunain atau Perang Awthas atau Perang Hawazin.
Perang ini terjadi pada bulan Syawal tahun 8 H/630 M. Kaum muslimin memiliki pasukan yang begitu besar, karena orang-orang Mekah telah menjadi bagian dari keluarga kaum muslimin. Saat itu, Rasulullah memimpin 12.000 sahabatnya untuk menghadapi sekutu orang-orang Hawazin, Tsaqif, Bani Muiz, Bani Hilal, dll.
Perang ini dilatar-belakangi kekhawatiran orang-orang Hawazin setelah mendengar umat Islam menaklukkan Mekah. Setelah Mekah jatuh, mereka menyangka kaum muslimin akan memerangi mereka. Mereka pun menyiapkan pasukan untuk menyerang umat Islam terlebih dahulu. Mendengar kabar tersebut Rasulullah mengirim mata-matanya menuju Hawazin dan akhirnya beliau siapkan 10.000 pasukan yang ikut bersama beliau dalam penaklukkan Mekah ditambah 2000 pasukan dari Mekah.
Kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran ini. Namun karena kecerobohan kaum muslimin di awal perang, mereka menderita kerugian yang cukup besar dengan 6 orang gugur di medan perang dan 6000 lainnya terluka. Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah Ta’ala,
لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ ۙ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ ۙ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ
“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah(mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai.” (QS. At-Taubah: 25)
ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ
“Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang-orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir.” (QS. At-Taubah: 26).
Sementara dari pihak orang-orang musyrik 71 orang tewas terbunuh.
Kedua puluh enam: Perang Thaif
Perang ini terjadi pada bulan Syawal tahun 8 H. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin 12.000 pasukannya menghadapi Bani Tsaqif di Thaif. Rasulullah mengepung perkampungan mereka dan akhirnya mereka menyerah dan memeluk Islam.

Bukit-bukit di wilayah Thaif, Arab Saudi
Bukit-bukit di wilayah Thaif, Arab Saudi

Kedua puluh tujuh: Perang Tabuk.
Perang Tabuk terjadi pada bulan Rajab tahun 9 H. Sebelumnya, pada Jumadil Awal tahun 8 H, Romawi cukup dibuat terkejut dengan perlawanan umat Islam di Perang Mu’tah. Akibat dari peperangan itu, kabilah-kabilah Arab yang dijajah Romawi mulai berani melakukan pembangkangan. Dalam Perang Mu’tah juga, gugur sahabat-sahabat dekat Rasulullah dan panglima Perang Mu’tah: Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, dan Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhum.

Peta Tabuk
Peta Tabuk

Untuk membuat perhitungan terhadap umat Islam, Romawi merencanakan menyerang Madinah. Kabar tersebut sampai kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu beliau siapkan 30.000 sahabatnya menghadapi negara adidaya Romawi itu di Tabuk.
Peristiwa ini berakhir tanpa kontak senjata, karena orang-orang Romawi enggan menghadapi kaum muslimin di Tabuk, mereka lebih senang jika Rasulullah dan pasukannya mendatangi benteng mereka di Syam. Padahal Rasulullah telah beberapa hari menunggu kedatangan mereka di Tabuk.
Hal ini semakin menambah kewibawaan Negara Islam Madinah di hadapan Romawi dan bangsa Arab secara umum.
Penutup
Demikianlah di antara peperangan yang terjadi di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, khususnya yang beliau pimpin secara langsung. Dari kisah peperangan ini, kita bisa melihat sosok manusia sekaligus utusan Allah yang memiliki kemampuan yang begitu komplit.
Tidak ada seorang pemimpin yang menguasai seluruh bidang dengan begitu detilnya, kecuali beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memiliki kemampuan manajerial yang utuh dalam bidang pemerintahan, ekonomi, militer, dll. Membaca kisah-kisah peperangan beliau, penulis merasakan takjub yang luar biasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengorganisir pasukannya sedemikian rupa dan pengenalan beliau terhadap medan pertempuran sangat detil.
Lihatlah di Uhud, beliau tempatkan pasukan-pasukan pada pos-pos yang sangat strategis, beliau mampu melakukannya dengan timing yang tepat sebelum orang-orang Mekah tiba di Uhud sehingga musuh tidak mampu berbuat apapun. Jika pasukan pemanah tidak melanggar perintah beliau, kemenangan di Uhud pun akan diraih dengan mudah. Demikian juga apa yang terjadi di pada Perang Bani Lihyan, Rasulullah tidak membiarkan sahabatnya mengejar orang-orang Bani Lihyan hingga ke balik bukit. Karena beliau tahu, medan tersebut akan mengakibatkan pasukan Islam terlihat oleh orang-orang Mekah, dan Mekah akan menyangka kalau umat Islam akan menyerang mereka. Ketika Mekah merespon, jumlah umat Islam di Perang Bani Lihyan tidak akan sanggup menghadapi mereka.
Mudah-mudahan tulisan yang singkat ini dapat menjadi pembelajaran bahwa perang umat Islam sangat jauh berbeda dengan apa yang dicitrakan oleh media-media Barat. Mudah-mudahan tulisan yang singkat ini menjadikan cinta kita kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kian bersemi.
Semoga shalawat dan salam tercurah kepada beliau, keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Ya Ustadz, Apakah Sah Status Hubungan Kami Ini?


Saudaraku yang semoga dirahmati Allah, di dalam agama Islam, seorang laki-laki muslim (suami) memiliki tiga talak (cerai) untuk tiga kali. Hal itu sebagaimana firman Allah Ta’ala,

الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ

“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (al-Baqarah : 229)

فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ

“Kemudian jika si suami menalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.” (al-Baqarah: 230)
Artinya, jika seorang suami menalak istrinya untuk kali pertama dan kedua, maka dia dapat merujuk kembali istrinya selama belum berakhir masa ‘iddah-nya (masa tunggu bagi seorang wanita untuk tidak melakukan perkawinan setelah ditalak/dicerai atau kematian suaminya) tanpa akad baru lagi dan mahar baru lagi. Apabila telah selesai masa ’iddah-nya, maka berdasarkan kesepakatan para ulama fikih tidak sah untuk merujuk kembali istri yang telah ditalaknya itu kecuali dengan aqad baru dan mahar baru lagi. Hal itu sebagaimana firman Allah Ta’ala:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلاثَةَ قُرُوءٍ وَلا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلاحًا وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ

”Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 229).
Dalam masalah sahnya rujuk, terjadi silang pendapat di antara para ulama, namun pendapat yang nampak rajih (kuat) adalah bahwasannya rujuk itu sah dengan melakukan jima’ (persetubuhan) dengan atau tanpa niat untuk rujuk. Adapun tentang muqaddimah (pemanasan) sebelum jima’, maka itu tergantung dari niatnya. Jika ia berniat dengan itu untuk rujuk, maka sah rujuknya. Namun jika ia tidak berniat untuk rujuk, maka tidak sah rujuknya.
Namun yang menjadi permasalahan bagi si penanya di sini, apakah rujuk kepada istri yang telah ditalak itu diwajibkan menghadirkan saksi atau tidak?
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat pula. Akan tetapi pendapat yang nampak lebih kuat adalah pendapat mayoritas ulama seperti imam Abu Hanifah, imam Malik, imam Asy-Syafi’i menurut pendapat terbarunya, dan pendapat imam Ahmad dalam salah satu riwayat dari beliau. Mereka berpendapat bahwa saksi dalam merujuk istri yang telah ditalak hanyalah bersifat anjuran (disunnahkan), dan tidak wajib. Di antara alasan mereka, sebagai berikut:
1. Rujuk adalah hak suami yang tidak perlu adanya kerelaan istri ataupun wali, sehingga tidak diwajibkan adanya saksi.
2. Rujuk bukan merupakan akad baru, akan tetapi hanyalah tindakan melanjutkan hubungan pernikahan yang telah terputus akibat jatuhnya talak satu dan dua.
3. Firman Allah Ta’ala yang berbunyi,
فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا

“Apabila mereka Telah mendekati akhir ‘iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu.” (ath-Thalaq: 2)
Perintah menghadirkan saksi dalam ayat ini bersifat anjuran, bukan wajib. Hal itu disebabkan karena beberapa sebab, di antaranya:
a) Bahwa perintah Allah dalam ayat tersebut sama seperti perintah-Nya dalam ayat yang lain:
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ

“Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli….”. (al-Baqarah: 282).
Menurut pendapat mayoritas ulama bahwa jual beli bisa sah tanpa harus adanya saksi.
Selain itu, Nabi n tatkala memerintahkan Umar bin Khaththab z agar Ibnu Umar (putranya) merujuk istrinya (yang telah ditalaknya), beliau bersabda,
مُرْهُ فَلْيُرَاجِعْهَا فليراجعها

“Perintahkan ia untuk merujuk istrinya.” (R iwayat Bukhari dan Muslim)
Di dalam hadits ini, Nabi n tidak menyebutkan tentang persaksian.
b) Menghadirkan saksi dalam rujuk hanya untuk kehati-hatian saja dari pengingkaran salah satu pihak, dan demi menutup rapat-rapat jalan menuju pertikaian dan perselisihan.
c) Talak (cerai) adalah hak suami yang boleh dilakukan tanpa adanya saksi. Demikian pula rujuk merupakan hak suami, maka boleh dilakukan tanpa harus ada saksi.
d) Dalam surat ath-Thalaq ayat 2 disebutkan pertama kali perintah untuk merujuk atau melepaskan istri yang telah ditalak, kemudian setelah itu disebutkan perintah menghadirkan saksi. Dengan demikian dapat diketahui, rujuk itu dapat terjadi sebelum adanya saksi, dan bahwa saksi bukanlah syarat sahnya rujuk. (Lihat Shahih Fiqhus Sunnah, III/272).
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -rohimhulloh- berkata: “Jika istri yang dirujuknya itu hadir, maka keberadaan saksi di sini bukan merupakan kewajiban. Namun jika istrinya ini tidak berada di tempat (ghaib), maka keberadaan saksi adalah wajib.” (asy-Syarhul-Mumti’, XIII/185-186).
Inilah beberapa alasan yang menunjukkan bahwa perintah menghadirkan saksi dalam ayat tersebut adalah bersifat istihbab (anjuran), dan bukan wajib.
Dengan demikian, rujuk Anda yang kedua kepada istri anda tanpa saksi dan tanpa melaporkan kepada mahkamah syariah adalah sah dan tidak ada yang dipermasalahkan. Sedangkan surat cerai yang Anda terima dari mahkamah syariah tidak perlu dijadikan pegangan (diabaikan saja). Sebab, jika ketetapan hukum Allah dan rasul-Nya bertentangan dengan undang-undang buatan manusia, maka kewajiban seorang muslim adalah mengikuti dan memegang teguh ketetapan Allah dan rasul-Nya. Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzaab: 36)
Demikian jawaban yang dapat kami sampaikan. Semoga dapat menghilangkan kebingungan, dan menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Wallahu a’lam bish-shawab.

Illustrasi Pernikahan
Illustrasi Pernikahan

Iparku Tak Menghargai Orangtuaku


Semoga Allah senantiasa memberikan kepada kita taufik-Nya dalam menghadapi segala problematika kehidupan hingga kita mampu bersabar dan mengambil solusi tepat sesuai apa yang dicontohkan oleh Nabi kita.
Dalam permasalahan yang antum hadapi, ada beberapa poin penting yang bisa kita cermati, yaitu sejauh mana kewajiban istri kepada kedua orang tua suaminya (baca: mertua). Kedua, apa penyebab condongnya istri kepada kedua orang tuanya saja. Dan ketiga, bagaimana cara menasihati orang lain tanpa menyinggung perasaannya.
Poin pertama: Sejauh mana kewajiban istri kepada mertuanya?
Kita ketahui bersama, bahwa seorang suami harus menjaga hak-hak kedua orang tua istrinya. Suami harus bisa menjaga tali silaturahim dan berbakti orang tua istrinya. Demikian pula seorang istri, dia berkewajiban menjaga hak-hak orang tua suaminya. Seorang istri harus bisa memahami betapa besar kasih sayang kedua orang tua suaminya kepada suaminya. Oleh karenanya, tidak sepantasnya hal ini menjaga pemicu api cemburu hingga dia ingin menjauhkan suaminya dari kedua orangtuanya.
Jika seorang istri menginginkan keberkahan dari Allah dalam keluarganya, hendaklah dia membantu suaminya untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, bukan malah menyakitinya, atau memutuskan silaturahim dengan mereka.
Betapa banyak para mertua yang menangis melihat tingkah laku menantunya, betapa banyak para mertua yang sakit hatinya karena perilaku menantunya yang menyayat hati mereka. Ingatlah, ketika seorang istri mengajarkan suaminya untuk durhaka terhadap kedua orang tuanya, maka sebenarnya dia telah melakukan dua dosa atau dua kesalahan sekaligus, yaitu dosa durhaka kepada kedua orang tua dan dosa kedua adalah dosa memutuskan hubungan kekerabatan atau tali silaturahim.
Poin kedua: Mengapa istri lebih condong kepada kedua orang tuanya sendiri daripada mertua?
Sebelum Anda memvonis bahwa ipar Anda lebih condong kepada kedua orang tuanya sendiri daripada kedua orang tua suami, atau lebih ekstrim dia telah melupakan mertua, seyogianya Anda cermati terlebih dahulu penyebab perilaku istri saudara Anda yang jarang berkunjung kepada kedua orang tua suami, bahkan sekadar mengajak anak-anak mereka berdua bermain di rumah kakek mereka. Hal ini bisa jadi dikarenakan, terkadang orang tua suami terlalu ikut campur dengan urusan rumah tangga mereka, sehingga sang istri tidak betah atau lebih mengutamakan untuk menjauh dari mertua daripada menimbulkan perselisihan dan cekcok. Hal ini bisa dimengerti, karena biasanya seorang istri apabila mertua terlalu ikut campur, maka dia memiliki dua pilihan:
Pertama, dia bersabar atas perilaku mertua dan mengharap pahala dari Allah, opsi pertama ini lebih baik.
Kedua, dia memerhatikan kerusakan yang ditimbulkan apabila terlalu dekat dengan mertua terlebih dahulu. Apabila dampak kerusakannya lebih besar, maka dia bisa meminta suaminya untuk tidak terlalu dekat dengan mertua dengan pertimbangan di atas.
Oleh karena itu, sebelum kita menetapkan perilaku istri saudara Anda yang terkesan menyakiti kedua orang tua suaminya, alangkah baiknya dilihat dan dicari sebenarnya penyebabnya itu dari pihak orang tua suami atau pihak istri itu sendiri.
Poin ketiga: Cara menasihati saudara?
Jika memang ternyata perilaku istri saudara Anda ada kekurangan, yaitu dia lebih mengutamakan kedua orang tuanya dari pada mertua, atau mungkin malah menyakiti kedua orang tua suami, maka sebagai saudara seagama bahkan sekandung, hendaklah Anda menasihatinya dengan memerhatikan adab-adab memberi nasihat, antara lain:
a. Hanya mengharap wajah Allah
Semata-mata untuk mengharapkan wajah Allah l. Karena yang demikian ini berarti pemberi nasihat akan mendapatkan ganjaran dari Allah k, sehingga Allah pun akan membantu Anda agar orang yang dinasihati diberikan hidayah oleh-Nya.
b. Tidak ingin membongkar aib saudara kita
Inilah perbedaan antara menasihati dengan mencela. Tujuan pemberi nasihat adalah untuk melakukan perbaikan, menutup rahasia (keburukan orang yang dinasihati), dan memperbaiki kekurangan. Sebaliknya, tujuan seorang pencela adalah untuk membongkar rahasia dan aib, menyebarkan kerusakan dan melakukan perusakan, menimbulkan kebencian dalam dada (bagi orang yang dinasihati).
c. Tidak menasihati saudara kita di hadapan orang banyak. Menasihati orang lain itu artinya kita ingin menutup kekurangan yang ada dalam dirinya, tentu hal ini tidak mungkin terlaksana kecuali saat orang yang ingin kita nasihati dalam keadaan lapang dadanya dan jernih pikirannya. Kondisi lapang dada dan jernih pikiran tidak mungkin terwujud kecuali saat sendirian bukan di depan orang banyak.
Ibnu Rajab berkata, “Para salaf apabila ingin menasihati, mereka menasihati secara sembunyi-sembunyi.”
Nasihat yang disampaikan di keramaian, sesungguhnya telah membantu setan untuk mencelakakan saudaranya. Yakni dengan mengumbar aib, kejelekan dan sifat-sifat buruknya di hadapan orang banyak. Maka perhatikanlah keadaan ini, bagaimana penerima nasihat akan menerima akan menerima nasihat Anda, ketika itu penerima nasihat malah sibuk memikirkan bagaimana menangkis dan menangkal aib-aib dirinya yang telah diumbar oleh Anda, dan tidak lagi memikirkan nasihat yang Anda berikan.
Imam Abu Hatim bin Hibban al Busti rohimahulloh berkata, “Namun nasihat tidaklah wajib diberikan kecuali dengan cara rahasia. Karena orang yang menasihati saudaranya secara terang-terangan pada sejatinya ia telah memperburuknya (keadaan penerima nasihat). Barangsiapa yang memberi nasihat secara rahasia, maka dia telah menghiasinya. Maka menyampaikan sesuatu kepada seseorang muslim dengan cara menghiasinya, lebih utama daripada bermaksud untuk memburukkannya.” (Raudhatul Uqala’, hal. 196)
d. Menasihati dengan lemah lembut. Menasihati orang lain itu ibarat membuka pintu yang terkunci, pintu tersebut tidak mungkin dibuka tanpa menimbulkan kerusakan kecuali dengan kunci yang sesuai. Demikian pula hati seseorang yang ingin kita nasihati membutuhkan cara yang tepat agar mereka menerima nasihat dan tidak tersinggung. Maka, pintu itu adalah hati, dan kuncinya adalah nasihat yang disampaikan dengan lemah lembut, santun, dan halus. Ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammadshollallohu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelemahlembutan tidaklah berada dalam sesuatu kecuali menghiasinya. Dan tidaklah terpisah dari sesuatu kecuali ia perburuk.” (Riwayat Muslim no. 2594)
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam mengatakan hal ini kepada ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha,
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat Yang Maha Lembut yang mencintai kelembutan dalam seluruh perkara.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Sebagaimana disebutkan pula dalam sebuah hadits,
مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ
“Orang yang dijauhkan dari sifat lemah lembut, maka ia dijauhkan dari kebaikan.” (Riwayat Muslim)
e. Tidak memaksa orang yang ingin kita nasihati untuk menerima nasihat kita, karena orang yang menasihati tidak memiliki hak itu, dia hanya sebatas memberi masukan dan pengarahan saja.
f. Memilih waktu yang tepat. Karena terkadang seseorang itu sedih, keruh hatinya, atau sedang memiliki masalah hingga dia tidak siap untuk menerima nasihat kita. Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu berkata,
“Hati itu memiliki rasa suka dan keterbukaan. Hati juga memiliki kemalasan dan penolakan. Maka raihlah ketika ia suka dan menerima. Dan tinggalkanlah ia ketika ia malas dan menolak.” (al –Adab asy-Syar’iyyah, karya Ibnu Muflih)
Demikianlah, semoga dengan adab-adab tersebut, Anda berhasil memberikan nasihat kepada ipar Anda tanpa tersinggung perasaannya. Wallahu a’lam.

Terhambat Komunikasi


di antara hikmah dari penciptaan manusia di muka bumi ini -selain untuk beribadah hanya kepada Allah saja tanpa mempersekutukannya dengan sesuatu apapun- adalah untuk saling mengenal di antara mereka, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Wahai sekalian manusia sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal.” ( al-Hujurat : 13 ).
Berdasarkan ayat ini, ta’aruf (saling mengenal) di antara manusia sangatlah dianjurkan oleh Allah, hal ini memiliki faidah yang sangat banyak, di antaranya untuk menjalin persaudaraan di antara mereka dan dengannya mereka dapat saling tolong-menolong dalam kehidupan sosial bermasyarakat, dan lain-lain. Dan tujuan dari ta’aruf di sini bukanlah untuk hal-hal yang sifatnya negatif, sehingga bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran syariat -seperti yang dilakukan oleh sebagian pemuda sekarang-.
Adapun jika ta’aruf ini dilakukan oleh dua insan dan keduanya telah memiliki kecenderungan yang kuat untuk mengikat tali pernikahan serta sudah siap untuk menerima kehadiran orang baru dalam kehidupannya, -tidak hanya kesiapan lahirnya saja akan tetapi juga kesiapan batin untuk menerima segala kelebihan dan kekurangan pasangan masing-masing demi terwujudnya sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah- maka hal ini lebih dianjurkan lagi. Allah – ta’ala – berfirman,
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (ar-Ruum : 21).
Sedangkan proses untuk mengetahui karakter dan pribadi pasangan masing-masing secara detail dan lebih dalam lagi, itu dibutuhkan waktu yang cukup lama, tidak hanya sehari dua hari atau sepekan dua pekan, akan tetapi dibutuhkan waktu bertahun-tahun dengan cara tinggal bersamanya selama itu. Jadi, kalau pun seseorang sudah mempunyai hubungan dengan lawan jenisnya selama beberapa tahun tanpa ikatan pernikahan (pacaran), -dan ini merupakan sebuah kemaksiatan yang selayaknya dihindari oleh setiap muslim- maka tidak ada jaminan bagi keduanya untuk mendapatkan kebahagiaan yang mereka idam-idamkan setelah pernikahan mereka berlangsung.
Betapa banyak kita lihat di luar sana orang-orang yang mempunyai hubungan dengan lawan jenisnya tanpa ikatan pernikahan (berpacaran) dalam waktu yang lama, akan tetapi pada akhirnya banyak juga di antara mereka yang gagal dalam membina rumah tangga setelah melangsungkan pernikahan itu, wal ‘iyaadzu billah… Sebaliknya, tidak sedikit di antara mereka yang melakukan ta’aruf singkat walaupun sehari atau dua hari saja, kemudian disusul dengan pernikahan antara keduanya, nyatanya pernikahan mereka langgeng sampai akhir hayat. Jadi, dalam usia pernikahan Ukhtiyang baru 4 bulan ini, masih dibutuhkan banyak kesabaran dalam mempelajari dan memahami karakter pasangan, di antaranya dengan memperbanyak komunikasi dengannya, meluangkan waktu untuk berdua baik di dalam rumah maupun di luar rumah -walaupun hanya jalan-jalan dan rekreasi ringan-.
Saudariku, setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan di masa lalunya, yang mana kesalahannya ini menjadi lembaran hitam yang pernah mewarnai hidupnya. Namun beruntunglah orang-orang yang mau bertaubat, karena ampunan Allah sangatlah luas hingga meliputi seluruh hambanya yang mau bertaubat kepada-Nya dan mau memperbaiki ke salahan dimasa lalunya. Alhamdulillah, Ukhti telah menyadari dan menyesali kesalahan yang dulu pernah terjadi, semoga Allah melimpahkan segenap ampunan kepada Ukhti dan memberikan taufik untuk tidak mengulangi kesalahan-kesalahan itu.
Kalaupun suami Ukhti masih merasa terbebani dengan masa lalunya, yakinkanlah dengan tutur kata yang lembut, sikap yang santun dan penuh perhatian kepadanya bahwa Ukhti sudah bisa menerima masa lalunya itu. Semoga dengan begitu, dapat merangsang tumbuhnya rasa cinta dari hati sang suami, sehingga dia bisa lebih perhatian lagi kepada Ukhti. Kalau sudah demikian, maka akan lebih mudah baginya untuk menjalankan perannya sebagai suami yang ideal bagi keluarganya. Untuk itu, saya anjurkan kepada kalian berdua agar tidak mengungkit-ungkit masa lalu kalian dan berusahalah untuk menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing demi untuk membina hubungan yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.
Kemudian, saya anjurkan untuk tidak mencari-cari kesalahan pasangan, terutama di saat munculnya konflik dalam rumah tangga (terlebih lagi dalam keadaan emosi). Bicarakanlah setiap permasalahan dengan kepala dingin dan bermusyawarahlah dengan cara yang baik, sehingga tercapai sebuah solusi yang cemerlang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan bijak. Kalaupun cara itu belum berhaasil, maka berziarahlah kepada salah seorang ustadz guna meminta saran dan nasihat dari beliau untuk mencari solusi yang lebih baik.
Adapun lembaran hitam yang pernah mewarnai kehidupan Ukhti sebelum menikah, tidak perlu diceritakan (dan ini bukan merupakan bentuk kezhaliman). Begitu pula sebaliknya, Ukhti tidak perlu menanyakan atau menyinggung kembali sisi gelap yang pernah dilalui oleh sang suami, karena hal itu bisa memicu keretakan hubungan rumah tangga kalian berdua. Lebih baik, pilihlah materi-materi pembicaraan yang sifatnya santai seperti : bercanda ringan, atau yang bisa mendatangkan maslahat di hari esok.
Komunikasi yang baik antara pasutri adalah salah satu kunci kebahagiaan dan keharmonisan dalam membina rumah tangga. Didukung lagi dengan adanya kejujuran, pengertian, keterbukaan, dan mau bermusyawarah dalam setiap permasalahan yang perlu dimusyawarahkan -walaupun membicarakan hal-hal yang kecil sekalipun- serta adanya sikap lapang dada dalam menerima nasihat, saran, dan kritik dari pasangan. Adapun jarak yang berjauhan sekarang ini, seharusnya tidak menghalangi komunikasi dan saling memberikan perhatian antara kalian berdua, terlebih lagi didukung dengan adanya alat komunikasi yang sangat canggih di zaman ini, di antaranya melalui telepon, HP, internet, dll. Saya sarankan kepada Ukhti agar sebisa mungkin tetap menjaga komunikasi yang baik dengan suami dan berikanlah perhatian yang lebih kepadanya, apalagi dalam kondisi-kondisi seperti sekarang ini agar sang suami tidak merasa jenuh dan kesepian.
Mulailah memperbaiki hubungan dengannya sedini mungkin, walaupun harus diawali dengan komunikasi jarak jauh. Dan kalaupun ada berita tentang kepulangannya dari luar kota, persiapkan diri untuk menyambutnya dengan berdandan dan berbusana sebagus mungkin. Selain itu, siapkan peralatan dan kebutuhannya setelah safar dan berikan pelayanan kepadanya sebaik mungkin, misalnya menyediakan air hangat untuk mandi juga menyiapkan makanan dan minuman yang disukai. Dan yang lebih penting dari itu, tetap jagalah komunikasi yang baik dengannya di sela-sela pelayanan Ukhti kepadanya, agar komunikasi yang sudah mulai dirajut dengan baik sebelumnya akan bertambah erat.
Kemudian saya ingatkan sekali lagi, janganlah Ukhti membuka lembaran-lembaran hitam yang pernah Ukhti alami atau mengungkit-ungkit kembali masa lalu yang kelam tersebut -apalagi masa lalu sang suami-. Kuburlah hal itu dalam-dalam, semoga taubat Ukhti dan suami nanti bisa menghapus dosa dan kesalahan kalian berdua di masa lampau, dan semoga Allah selalu menurunkan rahmat dan hidayah-Nya kepada keluarga Ukhti serta mengumpulkan kita semua di dalam surga-Nya. Amiin…Wallahu a’lam bisshawab. (Ustadz Abu Abdil Aziz As-Solowy)

Arsip Blog